Mohon tunggu...
Axel Jhon Calfari
Axel Jhon Calfari Mohon Tunggu... Penerjemah - Ilmu Politik 2019, Universitas Brawijaya.

Kekirian, pembelajar, dan semoga tidak cepat pintar. Selamat/suksma/Sukses.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

UU Cipta Kerja Pintu Menuju Kematian Demokrasi?

16 Oktober 2020   00:37 Diperbarui: 16 Oktober 2020   00:51 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus ini dilanjutkan dengan temuan ICW yang menyebutkan kegiatan influencer dan buzzer  ini bertujuan mempromosikan kebijakan dan program kerja. Persisnya, menurut ICW, kegiatan tersebut lebih sebagai upaya menggiring opini publik soal kebijakan dan program kerja pemerintah. 

ICW mencatat, dalam enam tahin terakhir, pemerintah telah menggelontorkan Rp. 90,45 miliar untuk pendengung. Nilai itu hanya sebagian kecil dari total anggaran pemerintah untuk aktivitas digital yang mencapai Rp. 1,29 triliun. Hal ini mulai diterapkan tahun 2014 dan pada pemerintahan Jokowi selama enam tahun terakhir penggunaan dana ini meningkat dengan ditemukannya banyak paket kebijakan terkait ini oleh ICW.

Dari Staf Khusus Kantor Staf Presiden, Albert Nego Tarigan belum bersedia untuk menjawab terkait dengan anggaran pemerintah untuk influencer tersebut. Ketua yayasan YLBHI, Asfinawati, juga menduga pemerintah terlibat dalam praktik pembayaran pendengung dan influencer untuk mengkampanyekan RUU Cipta Kerja. Karena jika tidak tentunya pemerintah seharusnya telah membuktikan bahwa mereka tidak terlibat dalam skandal ini.[14]

Dampak Ekonomi Omnibuslaw

Dengan kondisi ekonomi yang sangat terpuruk di masa pandemi saat ini apakah omnibuslaw berdampak secara positif ?  Menurut World Bank menilai terdapat beberapa klausul dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berpotensi merugikan ekonomi Indonesia, berbanding terbalik dengan tujuan rancangan RUU tersebut yang hendak meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi.

Hal ini disampaikan oleh World Bank dalam laporan perekonomian Indonesia yang dirilis Juli ini dengan judul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery. Tiga poin yang disorot oleh World Bank adalah klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan.

  • Pertama, ketenagakerjaan skema upah minimum terbaru serta pembayaran pesangon yang lebih longgar dibandingkan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berpotensi memperlemah perlindungan terhadap tenaga kerja serta meningkatkan ketimpangan penerimaan.
  • Kedua, perizinan, World Bank menyorot klausul RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menghapuskan syarat dalam pemberian izin-izin dari kegiatan berisiko tinggi. Kegiatan seperti usaha farmasi, rumah sakit, pendirian bangunan tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan berisiko tinggi.
  • Ketiga, lingkungan, direlaksasinya syarat-syarat perlindungan lingkungan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki potensi mengganggu kehidupan masyarakat dan akan berdampak negatif terhadap investasi.

Meskipun begitu World Bank menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki potensi meningkatkan keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global atau global value chain.

 Kemudian pada senin (5/10) sejumlah investasi global dengan total dana kelolaan mencapai US$ 4,1 triliun di Indonesia malah menolak Omnibus Law[15]. Hal tersebut disampaikan melalui surat kepada pemerintah Indonesia untuk menyatakan keprihatinan. Salah satu alasannya, dengan adanya undang-undang baru ini, bisa merusak lingkungan seperti hutan tropis di Indonesia.

Investor asing tersebut sebenarnya menghargai upaya pemerintah Indonesia untuk menyelaraskan peraturan dan mengatasi hambatan untuk menarik lebih banyak investasi asing langsung. 

 Tapi, dengan perubahan beberapa peraturan dapat berpotensi merugikan dari perspektif lingkungan, sosial, dan tata kelola jika diterapkan. Secara khusus, meraka khawatir mereka khawatir perubahan yang diusulkan pada kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, dan sistem sanksi akan berdampak negatif terhadap beberapa hal. Seperti terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan yang menimbulkan ketidakpastian dan mempengaruhi daya tarik pasar Indonesia.

Selain itu, dampak juga dirasakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi kedua Selasa (6/10/20) ditutup hijau 0,82% di level 4.999,2 tapi gagal ditutup di atas level psikologis 5.000.[16] Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual sebanyak Rp 202 miliar di pasar reguler dengan nilai transaksi menyentuh Rp 7,1 triliun. Hal tersebut memberi sentimen positif bagi IHSG pada rabu (7/10) ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun