Mohon tunggu...
Exerukun
Exerukun Mohon Tunggu... Penulis - Sejarah Peradaban Islam dan Konflik agama serta etnik

Tertarik dengan sejarah peradaban Islam, konflik agama,dan juga etnik. AKUN INI DI HACK

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Polarisasi Konflik dan Perdamaian Etnis: Studi Buku Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia

10 Juni 2019   09:35 Diperbarui: 13 Juni 2019   18:25 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mari bernostalgia kembali dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Negeri tercinta kita, menjadi keharusan bagi suatu bangsa untuk tahu roda perputaran kehidupan, ialah Sejarah serta peristiwanya. Tetapi, disini Saya akan lebih mengulas tentang pesan yang ada dalam buku Konflik Dan Perdamaian Etnis Di Indonesia oleh Samsu Rizal Panggabean. 

Ini berawal ketika pada masa OrBa (Orde Baru) sangat sedikit adanya penelitian terkait konflik dan kekerasan etnis di Indonesia. Kenapa? Ya, karena pada masa itu persoalan konflik dan kekerasan etnis termasuk wilayah terlarang. Perkembangan dan perubahan terus terjadi sampai pada masa Reformasi.

Pada masa Reformasi terjadi, kebanyakan mulai muncul penelitian tentang konflik dan kekerasan etnis bahkan sampai pada pencetakan maupun online. Namun, sebagian besar dari penelitian yang dilakukan hanya sebatas menggambarkan alur dan penyebab berdasarkan pada lokasi geografis serta waktu kejadiannya.

Dalam buku ini jika dibaca akan ditemukan metode penelitian yang memasangkan dua kasus hingga berhasil digaris bawahi mengapa satu kondisi bisa menjadi insiden, tetapi tidak di tempat lainnya. Pemilihan studi kasus pun dilakukan dengan mempertimbangkan kemiripan demografi dan kondisi sosial. Itu mengapa Solo dipasangkan dengan Yogyakarta, sedangkan Ambon dengan Manado. Tentu peristiwa yang berkembang diantara perbandingan kota-kota itu berbeda.

Jika di Solo lebih kritis soal pemilah etnis sehingga menyebabkan konflik etnis itu sendiri. Sedangkan di Yogyakarta tidak diperlukan pemilah etnis untuk tercapainya reformasi, ini dikarenakan mekanisme yang digunakan adalah reformasi damai yang tidak lain adalah mengkoordinasi massa dengan kedamaian bukan dengan menggunakan etnis.

Kemudian, antara Ambon dan Manado berkembang pandangan kritis yang terkait dengan garis agama yang mana di Ambon lebih kritis soal diskriminasi dalam hal kontestasi jabatan meskipun Islam-Kristen merasakannya. 

Akan tetapi berbeda dengan di Manado. Polarisasi yang berkembang di Manado adalah saling melengkapi dan melindungi satu sama lainnya, ini akan dikenal masyarkat dengan sebutan "torang semua basudara". Artinya, perlakukan orang lain selayaknya saudara seperti melindungi maupun saling tolong-menolong (gotong-royong).

Juga, dalam hal kotestasi jabatan di ruang publik Manado tidak terlalu di pusingkan meskipun tetap terjadi, namun tidak mencolok. Ditambah lagi keaktifan pemerintah yang segera melihat isu konflik yang datang dari luar Manado langsung memanggil para tokoh penting baik dari Islam-Kristen untuk berkumpul dalam suatu pertemuan demi membahas solusi dari permasalahan yang ada.

Buku ini juga menyimpulkan bahwa perubahan sentimen antirezim Orde Baru ke sentimen anti-Cina berhasil melahirkan kekerasan di Surakarta. Hal ini terjadi karena diiringi penarikan perlindungan dari aparat keamanan. 

Di sisi lain, Yogyakarta merespon sentimen itu dengan metode nir-kekerasan dan pelibatan berbagai kalangan dalam  pengelolaan konflik serta koordinasi yang lebih lancar. 

Di kasus lain, Ambon mengalami ambruknya kehidupan sehari-hari yang diperparah dengan kegagalan dalam menurunkan tensi konflik sehingga terjadi kekerasan Islam-Kristen. Sedangkan di Manado, tekanan direspon dengan nir-kekerasan, yaitu dengan pengendalian batas dan koordinasi antar umat beragama.

Di kasus lain, Ambon mengalami ambruknya kehidupan sehari-hari yang diperparah dengan kegagalan dalam menurunkan tensi konflik sehingga terjadi kekerasan Islam-Kristen. sedangkan di Manado, tekanan itu direspon dengan tanpa adanya kekerasan, yaitu dengan pengendalian batas dan koordinasi antar umat beragama.

Dikotomi antara Pribumi dan Cina maupun Islam-Kristen memang nyata, tetapi bukan menjadi penyebab kekerasan. Justru setelah kekerasan dipakai dalam konflik, dikotomi antar identitas muncul sebagai dampak.

Setelah melihat dengan sadar (analisis) bagaimana atau kenapa konflik terjadi di Ambon serta Surakarata (Solo) tetapi tidak di Manado serta Yogyakarta? Pesan yang diberikan Samsu Rizal Panggabean paling tidak untuk meminimalisirnya dengan: (1) Ditekankan lakukan pengkajian terkait perosalan ini pada tingkat subnasional atau Kota/Kabupaten. (2) Sumber informasi pengkajian atau riset penelitian dari pembuat strategi kotanya dan masyarakat dalam berinteraksi. (3) Dari aspek pengkajian penting untuk mengkaji kota yang mengalami kekerasan etnis bersama dengan kota yang mengalami kedamaian etnis. (5) Mengkaji kedamaian atau kasus-kasus nir-insiden juga penting dalam menyelesaikan persoalan terkait bahasan ini. (6) Peran relasi dan interaksi strategis adalah kunci untuk memahami insiden kekerasan dan kedamaian, bukan dari ciri-ciri  kelompok maupun profil aktor (orang penting suatu negara/kota/tokoh).  (7) Setelah kekerasan, diperlukan orang yang bermakna penting di masyarakat untuk memulihkan antar-warga dan ruang publik. (8) Dan yang terakhir, untuk mencegah konflik semacam ini adalah dengan diadakannya forum pertemuan baik dari Islam-Kristen dan lainnya, hal ini demi mencegah masalah yang akan datang serta mengantisipasi isu yang berkembang menjadi konflik besar di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun