Mohon tunggu...
Adnan Widodo
Adnan Widodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Santri

Belajar Menulis. Belajar Beropini. Belajar Berpendapat. Belajar, belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gagak Cantik atau Titisan Ratu Bilqis?

1 Mei 2012   19:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari kamar sebelah timur di lantai tiga sakan[1] Basalamah, matahari terlihat indah memerah, mewarnai keindahan langit di awal hari nan cerah, dihiasi nyanyian ombak berirama serempak yang terdengar lirih karena keberadaannya yang agak jauh, sesekali tiupan lembut angin laut yang sejuk pun ikut mengiringi irama itu, membuat  suasana di pagi hari semakin syahdu. "Ayo, Din! Kita ke mathbakh, futhur[2]!", Adji mengajak Udin ke  mathbakh Abu Ali, dapur milik Jami'ah (Universitas Al Ahgaff pusat di Fuah, Mukalla City Hadramaut Yaman) yang berjarak sekitar 350 M. dari sakan Basalamah untuk mengambil jatah sarapan pagi itu. "Emanag udah jam berapa sekarang, Dji?" "Udah jam tujuh nih!, entar telat lagi kaya kemaren gak dapet halib[3]", "Ya udah, bawain gelas ana dulu yah!, ana mau ngajak joko dulu", kata Udin hendak mengajak joko, seorang sahabat dari kamar lantai dua sebelah timur juga. "Alaaah, biasanya juga dia gak pernah futhur, paling sekarang juga dia lagi tidur tuh. Balas dendam karena begadang semalam". "Ya, tapi siapa tahu dia lagi pengen futhur  gitu". Ternyata dugaan Adji tidak tepat, Joko yang ia kira sedang tidur, ternyata Udin melihat dia di kamar sedang duduk Iftirasy menghadap barat hendak salam mengakhiri Sholat Dhuhanya. "Assalamu'alikum warahmatullaah, assalamu'alikum warahmatullaah". Ketiga sahabat itu akhirnya pergi bersama sama menuju mathbakh. Tidak seperti biasa, kali ini mata mereka berkeliaran kemana-mana layaknya orang orang yang mencari sesuatu yang hilang. Tiba tiba ada anak laki laki kecil yang tanpa basa basi memberi secuil kertas berisi nomor HP kepada Adji, "Ya Thoyb, syelloh! Hat li roqm haggak! [4]". Dengan sedikit ragu Adji pun langsung mengambil secuil kertas itu dan memberi nomor HPnya pada anak kecil tadi."Siapa tahu ini nomor perempuan cakep yang ngefans sama aku", katanya bangga. Suasana di sekitar Imaroh imaroh[5] dekat sakan mereka kelihatan masih tidak begitu ramai, mungkin masih terlalu pagi. Yang ada hanya teriakan serak gagak gagak yang berkeliaran, menyuarakan rasa laparnya di pagi hari. Setelah melewati Imararoh imaroh itu, keramaian mulai terlihat. Universitas Al-ahgaff di samping jalan yang menuju jalan raya mulai tampak di mata mereka, Riasatul Jami'ah (Universitas Pusat), Kulliyatul Iqtishad, Handasah dan Hasub (Fakultas Ekonomi, Teknik dan Ilmu Komputer) terlihat gagah mengapit bangunan dan baggalah baggalah (toko) yang ada di antara fakultas fakultas tersebut. Selang  beberapa menit, Universitas Hadramaut pun terlihat di sebrang jalan raya sana. Sungguh pemandangan yang indah, khalayak bertebaran kemana kemari. Pengusaha, Pelajar dan Mahasiswa sibuk sendiri sendiri. Banyak yang jalan kaki, ada juga yang naik mobil bergengsi. Yang menarik adalah 'Mâsyi ikhtilâth'[6], kaum adam dan hawa tidak bercampur baur, kecuali mereka mereka yang mempunyai hubungan keluarga atau saudara. "Gagak gagak itu buat penasaran banget ya?", kata Adji memulai obrolan. Dengan serempak Udin dan Joko menjawab penasaran "Gagak!?". "Iya, perempuan perempuan bercadar yang berpakaian hitam hitam itu. Kayak gagak kan? hitam hitam dan matanya tajam". "Oooh!!!" "emang kenapa, Dji?" tanya Joko penasaran lagi."Bukannya mereka titisan Ratu Bilqis?". "Mungkin! Kamu lihat aja, tubuh tubuh yang berjalan semampai itu, semuanya tertutup kain hitam kecuali dua bola mata yang indah dan  kulit putih yang terlihat disekitarnya saja. Hidung mancungnya yang tertutup cadar itu indah sekali, melengkung seperti paruh elang. Bahkan banyak juga yang tidak memakai kaus tangan  hingga kulit putih mulusnya kelihatan. Apa lagi  yang dihiasi ukiran pacar yang indah". "Apa lagi jika mereka melirik penasaran sama turis turis kayak kita ini ya?", sela Udin. "Huuh! Rasanya jantung ini pengen copot, Din. Mata indah bola pimpong itu membuatku penasaran. Seperti apa ya mukanya?" "Katanya sih, jika kulitnya itu putih, kemungkinan orangnya juga cantik. Lihat aja anak anak perempuan yang belum baligh yang belum pake cadar di sini, pasti kebanyakan cantik cantik kan?" "Astaghfirullahal 'adziiiim! ternyata, diem diem selama ini kamu merhatiin anak anak kecil itu, Din?" tanya Joko kaget. "Kamu kan udah punya istri. Masih aja mengumbar mata". "Habis gimana lagi? Istriku kan di Indonesia. Terus di sini perempuan yang gede gedenya gak ada yang bisa dilihat sih mukanya, jadi mending liat anak kecil aja dech, lebih aman." "seharusnya pernikahanmu itu bisa lebih merundukan pandanganmu, Din. Walaupun terhadap anak kecil, jika menimbulkan syahwat dan fitnah, maka itu tidak boleh juga. Inagt kata Imam Nawawi dalam Minhaj : Murâhiqah (perempuan mendekati baligh) itu sama hukumnya dengan perempuan yang sudah baligh." Obrolan demi obrolan seakan menyingkat langkah mereka, hingga tidak terasa mathbakh pun telah di depan mata. Semua mahasiswa—yang berangkat kuliyah pagi, siang, dari dalam negeri, Jazirah Arabiyah, dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Tanjania, Kenya hingga dari Somalia pun— melebur dalam sebuah ruang makan di mathbakh itu. Menu sarapan hari itu lumayan spesial, juga termasuk menu favorit Joko, yaitu syahi halib[7] dan roti gandum selebar piring dengan tiga pilihan menu lainnya, yaitu selai campur jubn[8], telor atau halawah[9].  Selang beberapa jam, mathbakh pun mulai sepi tinggal beberapa petugas yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu untuk ghoda[10] nanti. Di perjalanan pulang dari mathbakh, Joko berhenti sejenak. Dia memperhatikan toko sandang yang bertulisan 'Al-Jâhirah Lil Malâbis al-Jâhizah'. Disitu dijual bermacam macam pakaian perempuan. Dari untuk anak anak sampai dewasa, dari pakaian hitam dilengkapi cadar hingga pakain strit dan yang minim minim pun ada. "Aneh! Pakaian strit strit itu siapa ya yang mau beli? Di sini kan perempuan perempuan dewasanya pakai cadar semua". "Ya mereka mereka itu lah yang beli, terus siapa lagi?" kata Adji menjawab pertanyaan Joko. "Terus buat apa kalau begitu?" tanya Joko benar benar ingin tahu, karena benar benar polos dan tidak tahu. "Yang pasti nggak dipake diluar rumah. Dan yang pasti juga untuk dipandang suami di dalam rumah jika sudah berkeluarga  atau sekedar buat daleman pakain cadar mereka. Lihat aja, kadang celana pencil atau celana levis strit yang mereka pakai, bawahnya sering keliatan jika mereka berjalan. Karena celana mereka lebih panjang daripada rok baju cadar mereka". "Nggak kayak perempuan perempuan di Indonesia. Mereka terlalu berani memamerkan keindahan mereka pada khalayak umum. Jangankan bercadar, kerudung aja mereka lepas, memakai pakaian minim hingga lekuk tubuhnya menonjol. Makanya tidak aneh jika tingkat pemerkosaan dan pelecehan seksual di sana terus meningkat", ucap Udin sedikit jengkel; karena teringat teman perempuannya waktu di bangku  SMP yang kini telah menjadi korban pergaulan bebas. "O, ya, mereka juga memakainya saat ada acara pertemuan atau walimah. Kan acara disana gak pernah dicampur dengan laki laki. Soalnya, Mubarok anak kelas syu'bah dal itu pernah tahu. Dia lagi nongkrong di teras kamarnya di lantai tiga itu. Sedangkan acara perempuan perempuan tadi di sutuh[11] sakan sebelah yang lebih pendek dibanding sakan kita. Katanya, mereka pada lepas cadar. Dengan melepas pakaian cadar, otomatis mereka terlihat seksi dengan pakaian pakain minim dan stritnya. Karena memang pakain strit tadi adalah daleman yang mereka pakai sebelum memakai pakaian cadar. Mubarok  tidak sengaja melihat mereka. Karena takut ketahuan, dia merunduk menyembunyikan sosoknya. "Masya Allah, bak Bidadari turun dari kayangan, bikin aku tidak bernafsu punya istri orang Indonesia aja nih", kata Mubarok terpesona kecantikan para Bilqis bilqis itu. Setelah sampai di kamar, Adji melepas bajunya dan hendak mencantolkannya di gantungan baju, tiba tiba ada sepotong kertas jatuh dari kantong bajunya yang tidak terlalu dalam itu. "Astaghfirullah! Aku lupa. Ini kan nomor HP yang dikasih anak kecil tadi". Setelah itu ia langsung mengambil HPnya di lemari untuk menghubungi nomor tadi. Tapi berkali kali ia hubungi ternyata nomor itu tidak pernah aktif "Inna littishol bir roqmil mathlûb re mumkin hâlian…[12]".

"Ya sudah lah! Mungkin anak kecil tadi pagi itu cuma sekedar main main", pikirnya saat melamun di tengah malam sambil merebahkan tubuh di teras kamar Joko di lantai dua itu. Tiba tiba nada dering SMSnya berbunyi. Kemudian ia membuka SMSnya,  "Ya Syamsî, mararta kulla yom amâma manzilî, tunîru sâhah fî galbî, wa aj'alta sukhûnah kulla ayyâmî[13]". "Wah! Ternyata yang kirim SMS tadi nomornya nomor kartu Bilqis[14]. Kemungkinan besar yang punya juga perempuan", fikirnya dalam hati. Ternyata SMS itu dari kakak perempuan dari anak kecil yang memberi Adji potongan kertas tadi pagi. Namanya Maya binti Ghaib Bahasuan, perempuan dari qabilah/marga Arab Yaman yang lumayan terkenal. Sebagian Marga tersebut banyak yang telah hijrah dan menjadi Warga Negara Indonesia, bahkan sebagian mereka telah sukses dan memiliki perusahaan sarung terkenal di sana, yaitu BEHAESTEX/BHSTEX (Bahasuan Textil) yang memproduksi sarung BHS, Atlas dll.

"Kemaren aku janjian sama kakak perempuannya anak kecil yang ngasih nomor HP waktu berangkat ke mathbakh waktu itu. Inget gak? Namanya Maya", cerita Adji membuka curhatnya. "Yang bener, Dji? Cantik nggak?", tanya Udin penasaran. "Ternyata omongan Mubarok itu bener. Perempuan itu cantik banget, Din. Sempurna, bak Ratu Bilqis yang terlahir kembali di kerajaan Saba".  "Kami bertemu di funduq (hotel) Assamak di Khoor, Mukalla, Din, Jok. Dia membawa adik sepupunya".

"Terus!!!", dengan serempak Udin dan Joko memaksa Adji melanjutkan ceritanya. "Aku disuruh masuk ke kamar yang mereka pesan. Dengan ragu ragu dan jantung yang beredetak detak, akhirnya aku masuk ke kamar itu. Saat aku masuk, mereka berdua masih bercadar dan sedang duduk resah di ranjang karena menanti seseorang yang akan datang. Saat aku membuka pintu 'kreoott..', mereka terkaget dan adik sepupunya hampir menjerit. Untung  si Maya cepat menutup mulutnya. Karena dia tahu  yang masuk itu adalah aku, seseorang yang ia undang" "ehmmm..ehmmmm…", sela Udin memotong ceritanya.

Dengan senyum bangga, Adji melanjutkan ceritanya "Si Maya menceritakan semua isi hatinya selama ini kepadaku, bahwa diam diam dia mengagumi aku dan dia mau menjadi istriku. Dia juga siap jika suatu saat nanti ia dibawa ke Indonesia. Begitulah salah satu tipe perempuan yang kehidupannya selalu tertutup dan merasa terkekang. Jika dia terlanjur cinta dan rasa malunya terbuka, maka ia akan berani mengatkan cinta lebih dulu kepada laki laki, bahkan lebih daripada itu". "teruusss..!!!" "Aku masih belum bisa jawab apa apa. Karena dia melihatku seperti orang yang ragu, maka dia berkta "Lau mâ tsiqta bî, liajlik ba-aksyif niqâbî. Wallah, fih masyaqqah 'alal abkâr al hadhramiyah an taf'alna mitsla hâdza; liannahunn mâ yaksyifna niqâbahunn abadan 'indal ajânib, bal 'indal khitbah aidhan[15]". Lalu dia membuka tutup mukanya. MâsyâAllâh! Aku hampir pingsan, Din, Jok. Indah sekali matanya, alisnya, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merekah..Allaaaaah!!!". kemudian dalam setengah sadar aku katakan sesuatu padanya "Wallahi, enti jamiileh, muntahal jamaal. wa rubba râghib fik. Walâkin  akhâf min Majlisil Kulliyah, lau ya'rifûn hâdzal amr, baakun mafshul. Al'afwu minnak, ya ukhti[16]". Akhirnya dia mengerti alasnku dan kami tetap sepakat untuk menjalin hubungan hanya sebatas sahabat saja".

"Seharusyna kamu jangan bilang cantik di depannya segala, Dji", interupsi Joko memberi saran kepada Adji. "seorang laki laki tidak boleh sembarangan berkata 'cantik' di depan wanita; karena kamu tahu sendiri kan dalam kitab kitab fiqh? kata 'kamu cantik' kepada seorang perempuan termasuk shigat kinayah khitbah (kata kiasan untuk meminang). Jangankan mengatakn 'cantik' secara khusus di depannya, di depan sembarang laki laki pun Imam Nawawi melarangnya dengan jelas dalam kitabnya, Riyadhus Shalihin. Kecuali laki laki tadi berniat menikahi perempuan tersebut. Ya sudah lah! yang sudah, sudah. Bolu bolu, rengginang rengginag, dulu dulu, sekarang sekarang. Hehehe.."

"Iya tuh, Dji. Bener!!", kata Udin menyambung ucapan Joko. "Untung keputusan kamu tepat". "Maksudnya?!!". "Ya, tepat. Kamu tidak menerima tawarannya. Kalau kamu terima, kamu sanggup menerima resikonya? Qabilah qabilah di sini kan banyak juga yang masih ta'asshub (fanatik) dengan qabilahnya. Sedangkan kamu dari qabilah mana? Kamu Cuma orang Indonesia yang nama ayah kakeknya saja tidak tahu". "Hehehehe..iya, ya?". "Terus, kamu sanggup membayar maharnya? Kata tukang jam dari Syimal (Yaman Utara) kemaren, waktu pamannya nikah, bayar maharnya sampai 800.000 Reyal Yaman atau sekitar 40.000.000 Rupiah. Itu baru maharnya aja, belum lainnya, kayak japenan dsb. Makanya pantas saja di Yaman lumayan kerap diadakan kawin massal; karena banyak yang sudah tua tua masih belum mampu untuk membayar mas kawin. Kalau di Tarim lumayan enak, soalnya mahar antara 5000-6000 Reyal keatas itu umum.  O, ya. Satu lagi, si Mubarok yang kemarin kemarin gak pengen punya istri orang Indonesia itu, yang pengennya orang Yaman, sekarang malah jadi kebalikannya. Di samping faktor faktor di atas, kata dia lebih enak orang orang sebangsa. Lebih romantis, lebih  mengerti dan dimengerti. Trus dia pernah lihat ibu ibu Yaman yang merawat anaknya dengan kasar, dia menenteng tangan anaknya yang sedang menangis dan menjerit kesakitan. Gak kasian banget kata Mubarok dalam hati".

"Trus gimana dong?!, si Maya masih memintaku menghubunginya. Menjaga persahabatan katanya". "'alâ kulli hâl…", Udin dan Joko ucap serempak. Setelah diam sejenak sambil saling memandang seperti orang kebingungan, mereka melanjutkan "up to youuuu, dweeeeech.hehehehe…".

*Cerita ini hanya fiktif belaka.

Tarim, Hadramaut, 01 Mei 2012.

Footnote: 1-Sakan : Semacam tempat tinggal; asrama; rumah 2-Futhur : Sarapan 3-Halib : Susu 4-Ya Thoyb (panggilan hormat. Biasanya untuk memanggil orang yang belum kenal), Ambillah ini! Terus berikan nomor HP kamu! 5-Imaroh : Semacam apartemen 6-Tidak campur baur antara laki laki dan perempuan 7-Syahi Halib : Teh susu 8-Jubn :  keju 9-Halawah : Sejenis manisan keras yang dicampur dengan kacang 10-Ghoda : Makan siang 11-Sutuh : Loteng; atap rumah yang datar (biasanya tembok tembok sekitarnya ditinggikan agar tidak bisa dilihat orang di luar) yang biasa digunakan untuk acara acara khusus  bagi para perempaun. 12-suara dari operator jika nomor yang dihubungi tidak aktif. 13-Wahai Matahariku, setiap hari kau lewat di depan rumahku, menyinari halaman di hatiku dan kau telah memberi kehangatan di setiap hari hariku. 14-kartu GSM dari operator SabaFon yang mayoritas penggunanya perempuan. 15- Jika kamu tidak percaya, demi kamu aku akan membuka cadarku. Demi Allah, hal ini sangat berat dilakukan para perawan Hadramaut; karena mereka tidak akan membuka cadar mereka di depan para lelaki lain walaupun saat ia di pinang. 16-Demi Allah, kamu cantik, cantik sekali. pasti banyak laki laki yang mengharapkan kamu. Tapi maaf, aku takut pada Majlis Kuliyah, jika mereka mengetahui hal ini, maka aku akan dipulangkan (DO).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun