Mohon tunggu...
Rolly Maulana Awangga
Rolly Maulana Awangga Mohon Tunggu... profesional -

Pengurus HMIF STT Telkom(2005); Ketua Informatics Research Community STT Telkom(2005); Ketua Linux User Group STT Telkom(2006); Bendahara Klub Linux Bandung dan Advokasi Ubuntu Indonesia(2007); Pengurus Bandung Kota Blogger (2008); Team Competitive Intelligence, Marketing & Sales PT. Telkom Divre III(2008-2010); Founder Penerbit Kreatif(2010); Dosen Professional IT Telkom(2010); Dosen Luar Biasa Politeknik Telkom(2010); Ketua Saung IT(2011); Wartawan Pikiran Rakyat rubrik gadget(2013); co-Founder Passion IT(2013); Dosen Tetap Poltekpos(2015); Mahasiswa Doktor, KK Biomedis. STEI ITB(2018);

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Segera Lakukan Test Ini, Ternyata Internet Bisa Menyebabkan Kecanduan dan Gangguan Kejiwaan

29 Desember 2018   19:08 Diperbarui: 29 Desember 2018   19:34 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penelitian dilakukan terhadap 345 subjek. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner Youngs Internet Addiction Test (IAT). Berdasarkan pengolahan data dan pengujian statistik yang telah dijelaskan di atas, didapatkan hasil bahwa subjek laki-laki memiliki skor adiksi internet yang lebih tinggi daripada subjek perempuan. 

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian [32] yang menyatakan bahwa bahwa rerata tingkat kecanduan internet subjek laki-laki lebih tinggi dari subjek perempuan. Menurut Weiser (2000), sebagaimana dikutip oleh [33] dalam penelitiannya tentang perbedaan gender terhadap pola penggunaan internet dan aplikasi internet yang sering diakses menyimpulkan gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab individu tersebut mengalami ke- canduan internet. Dari hasil di atas diperoleh bahwa kelompok usia di bawah atau sama dengan 21 tahun mempunyai rata-rata skor adiksi internet lebih besar dibanding kelompok umur di atas 21 tahun.

Diskusi

A. Pendalaman dan Penyempurnaan terhadap Konsep Adiksi Internet

Lebih dari dua dekade konsep adiksi internet yang dike- mukakan oleh Young terus mengalami pengembangan dari ahli medis maupun akademisi. Namun hingga sampai saat ini terus dilakukan pendalaman dan penyempurnaan untuk mencapai kemapanan sebagai sebuah sains baru. Berikut adalah beberapa pendalaman kajian serta usulan penyempurnaan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

  • Definisi:  Definisi addiction dalam penggunaan internet menjadi kontroversi sejak pertama kali digagas oleh Young. [17] memberi definisi addiction sebagai bentuk ketergantungan secara psikologis seseorang dengan suatu yang tidak selalu berupa suatu benda atau zat. Berbeda dengan Konsep addiction di dalam kedokteran jiwa dikenal sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSMIV) [36]. DSMIV didefinisikan sebagai ketergantungan seseorang terhadap substance atau zat yang merugikan tubuh (substance abuse). Hal yang sama dengan APA, Walden memberikan definisi addic- tion sebagai compulsion, menurutnya addiction (kecanduan) adalah tindakan yang melibatkan masuknya zat asing ke dalam tubuh manusia dan mempengaruhi keadaan tubuh [19]. Hingga pada akhirnya definisi addiction mengarah kepada 'behavioral addiction' yaitu bentuk kecanduan yang melibatkan suatu keharusan dalam perilaku tertentu yang tidak terkait dengan konsumsi zat aditif atau narkoba. Konsep definisi ini akhirnya disepakati oleh Grohol, Hansen, dan Young [37] [38] kemudian dijadikan sebuah nomenklatur baru.
  • Klasifikasi pengguna internet berdasarkan intensitasnya: [39] memberikan klasifikasi penggunaan internet menurut intensitas penggunaannya. Jenis pertama adalah gangguan perilaku berupa penggunaan internet secara berlebihan. Jenis kedua adalah penggunaan internet secara fungsional karena alasan pekerjaan,  untuk  hal  produktif,  dan berguna bagi hidup. Jenis ketiga adalah penggunaan internet untuk mendapat kepuasan seksual dan atau mendapat keuntungan sosial hal ini biasanya dilakukan orang yang pemalu atau introvert untuk bersosialisasi atau mengekspresikan fantasinya pada dunia maya. Jenis yang keempat adalah individu yang tidak atau hanya sedikit tertarik pada internet. Menurut Pratatelli, jenis yang pertama adalah yang disebut kecanduan intemet. Namun hal ini menimbulkan kontroversi, jika kita meman- dang adiksi internet adalah pengguna yang melakukan akses internet secara berlebihan bagaimana dengan pengguna yang pekerjaannya memang membutuhkan internet dengan inten- sitas tinggi. Apakah pengguna dengan jenis yang kedua ini dapat dikategorikan sebagai pecandu internet. Oleh karena itu perlu kategori atau pengklasifikasian yang lebih tepat yang digagas oleh ini Babington [40]. Menurut Babington kecanduan (addiction) dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu kecanduan yang dapat dikatakan sehat (healthy), kecanduan tidak sehat (unhealthy), dan kecanduan yang merupakan kombinasi dari keduanya. Konsep inilah yang mungkin lebih tepat untuk menggambarkan klasifikasi pengguna internet meskipun masih menjadi pertanyaan tentang bagaimana kategori menggunakan internet yang sehat dan tidak sehat. Apakah seseorang yang menggunakan internet dengan intensitas lebih untuk menye- lesaikan pekerjaannya itu dikatakan sehat. Atau  sebaliknya apakah yang menggunakan internet secara sehat itu adalah pengguna yang produktif. Jadi diperlukan sebuah definisi komprehensif tentang internet sehat dan tidak sehat sebelum dapat melakukan klasifikasi terhadap pengguna internet.
  • Pendeteksian  gejala  kecanduan  internet:   Terdapat  beberapa  cara  untuk  mendeteksi gejala  internet addiction. Gejala-gejala yang banyak digunakan oleh para ahli psikologi mengenai kecanduan internet ini masih berpangkal kepada kriteria pathological gambling yang tercantum di dalam DSM IV. Beberapa kriteria tersebut dituangkan kedalam kuesioner untuk menguji seseorang apakah internet addiction. Kriteria ini kemudian terus mengalami modifikasi dan pengembangan oleh ahli  psikologi untuk  mendapatkan hasil yang relevan. Uji adiksi internet menggunakan instrument yang ada menimbulkan masalah yang paling utama yaitu sulitnya untuk menjamin keobjektifan dari selfreport mengenai kecanduan, karena beberapa kriteria mempunyai kemungkinan untuk disembunyikan oleh subjek uji. Kriteria atau pertanyaan yang dimaksud misalnya apakah anda merasa gelisah, murung, depresi, atau mudah marah ketika berusaha mengurangi atau menghentikan penggunaan internet. Kriteria ini cenderung disembunyikan oleh subjek uji. Oleh karena itu diperlukan sebuah metode atau skenario khusus untuk menjamin objektifitas pengujian ini.
  • Kriteria Diagnostik:  Adanya realitas umum dibidang psikologi klinis bahwa seseorang yang diduga mengalami kecanduan tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan satu gejala kecanduan saja.  Perlu dilakukan pemeriksaan secara detail aspek psikologis lainnya untuk mendapatkan hasil yang lebih valid.
  • Perlunya validasi dengan instrument medis lain:   Adanya pemikiran bahwa IAD  belum  sampai  kearah  diagnosa  klinis  karena  masih sulit untuk divalidasi atau diverifikasi dengan uji klinis lainnya. Penelitian dasar komprehensif harus perlu dibangun dan dikombinasikan untuk mengamati fenomena IAD, mungkin secara neurofisiologis, neurokognitif, psikologis, dan sosiologis.
  • Perlunya Perbaikan atau penyesuaian kuesioner:  Kami telah melakukan analisis terhadap hasil survey dari sejumlah responden. Pada point pertanyaan nomor 7 yaitu Seberapa sering Anda memeriksa email dulu sebelum melakukan hal lain? mayoritas responden yang kami survey menjawab Jarang. Sebagimana kita ketahui, kondisi pada saat ini orang lebih sering melihat media sosial semisal what app, Instagram, facebook, situs belanja online sebelum melakukan kegiatan lainnya.
  • Psikolog atau Psikiater:   Bagi  seseorang  yang  sudah mengalami adiksi internet parah penanganannya menjadi tang- gung jawab psikolog atau psikiater belum ada pemisahan yang jelas. Seharusnya jika orang yang mengalami adiksi internet parah, namun tidak ada gejala lain yang mengarah ke psikosis penyelesaian permasalahan menjadi tanggung jawab psikolog melalui konseling atau terapi psikologis. Jika orang yang mengalami adiksi internet parah disertai gejala-gejala psiko- sis yang menyertai maka penyelesaiannya menjadi tanggung jawab psikiater.

B. Adiksi Internet dari Sudut Pandang Kuhn

Menurut Thomas Kuhn, revolusi ilmu pengetahuan melalui tahapan-tahapan: fase pra-paradigma, fase sains normal, fase anomali, dan fase munculnya paradigma baru. Pada fase pra-paradigma, sains masih terus berkembang. Fase ini disebut juga dengan fase immature science (ilmu pengetahuan yang belum matang). Fase ini merupakan sebuah periode yang memakan waktu lama. Pada periode ini juga muncul berbagai macam aliran pemikiran yang saling bersaing dan meniadakan satu sama lain, memiliki konsepsi-konsepsi yang berbeda mengenai masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan kriteria apa yang harus digunakan untuk mengevaluasi teori-teori. Saat ini konsep, teori, dan penelitian tentang adiksi internet masih terus berkembang.

Banyak definisi tentang adiksi internet yang dikemukakan oleh para ahli. Kriteria diagnostik juga masih terus ditegakkan untuk mencapai kemapanan (misalnya adiksi internet yang belum ada di DSM IV, mulai dimasukkan dalam DSM V walaupun masih dalam bagian III, yang artinya masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat dikatakan sebagai gangguan jiwa. Berdasarkan tahapan-tahapan revolusi pengetahuan Kuhn, dengan memperhatikan perkembangan teori dan penelitian tentang adiksi internet, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan sains adiksi internet, berada pada fase pra-paradigma.

Menurut Kuhn bahwa pengalaman subjektif ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan suatu disiplin yang relatif. Demikian juga dengan konsep adiksi internet, misalnya definisi yang dikemukakan beberapa ahli juga tergantung latar belakang pakar, misalnya apakah sebagai psikolog atau sebagai psikiater.

C. Adiksi Internet dari Sudut Pandang Popper

Menurut Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau  suatu  teori  dapat bertahan  melawan  segala  penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun