Mohon tunggu...
Aviva Lyla
Aviva Lyla Mohon Tunggu... -

(dulu) senang baca, menulis, makan, melamun, dan tidur. punya blog di: kalamata.me & doktr.in

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kerbau Bule, Suro, dan Solo

4 Desember 2012   01:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:13 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan yang turun sejak sore, selepas senja perlahan-lahan mulai mereda. Memasuki waktu sekitar jam 08.00 malam, hujan pun benar-benar berhenti. Tanah, paving, dan jalan beraspal terlihat basah. Gerah sepanjang siang yang menyengat, tergantikan malam yang sejuk. Di pelataran Kori Kamandungan – gerbang utama keraton Surakarta – orang-orang dari berbagai daerah disekitar Kota Solo mulai berdatangan. Dari bermacam latar, pekerjaan, dan tujuan. Dari orang-orang kebanyakan dan bukan orang-orang kebanyakan. Dari orang-orang desa, orang-orang kota, abdi dalem keraton, keluarga dan bangsawan keraton, polisi, wartawan, tukang parkir, penjual kacang rebus, penjual wedang rondhe, dan bermacam orang lainnya. Perlahan-lahan berjejal berdatangan. Semuanya bersiap-siap dan menanti perayaan sakral yang hanya dilangsungkan setahun sekali di Keraton Kasunanan Surakarta. Perayaan Kirab Pusaka Malam 1 Suro. [caption id="attachment_1667" align="alignnone" width="651" caption="Persiapan. Di depan Kori Kamandungan terlihat banyak orang berlalu-lalang, para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, polisi dan petugas lainnya, mempersiapkan upacara Suran, perayaan menyambut tahun baru 1 Suro. Persiapan dilakukan di dalam dan di luar keraton."]

[/caption] [caption id="attachment_1668" align="alignnone" width="621" caption="Berjejal. Semakin malam semakin banyak orang berdatangan. Kebanyakan berkumpul di teras Kori Kamandungan dan disekitarnya, tempat kirab Suran dimulai. Setia. Pengunjung yang datang cukup beragam, dari anak-anak sampai orang tua, tetap setia menunggu upacara yang biasanya dimulai pada sekitar tengah malam."]
Berjejal
Berjejal
[/caption] Perayaan malam tahun baru dalam penanggalan Jawa ini juga banyak diadakan di daerah lain, seperti Cirebon, Yogyakarta, Ponorogo, Mojokerto, dan daerah-daerah lain di Jawa yang dulu pernah dikuasai Mataram Islam. Tidak seperti perayaan tahun baru penanggalan masehi yang diperingati dengan hingar bingar suara mengelegar dan beragam cahaya berpendar, peringatan tahun baru Jawa Islam ini diperingati dengan cara sederhana dan lebih menonjolkan nilai spritual-tradisional. Biasanya diperingati dengan melakukan tirakat, berdoa, membersihkan diri, membersihkan benda-benda pusaka dan hal-hal lain sebagai sarana untuk refleksi dan introspkesi diri. Di Keraton Surakarta, peringatan ini dilakukan dengan cara yang unik, dengan mengarak sekawanan kerbau bule yang dikenal dengan nama kerbau Kiai Slamet. Sejak keraton ini didirikan, tradisi menyambut 1 Suro ini konon sudah dilaksanakan. Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa Islam yang dibuat oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo atau Sultan Agung (1593-1645), Raja Mataram Islam ke-3. Pada masanya, Mataram mencapai puncak kejayannya. Daerah kekuasannya waktu itu mencapai hampir seluruh pulau Jawa dan Madura. Sultan Agung banyak meninggalkan warisan budaya, salah satunya yang masih dipakai sampai sekarang adalah sistem penanggalan Jawa Islam. Penanggalan ini merupakan modifikasi penanggalan Saka yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha India yang dipakai oleh masyarakat Jawa. Saka adalah bangsa Skithia (Scythian, bangsa Iran Kuno Sumeria) yang mendiami wilayah utara India, dan kemudian mendominasi wilayah India lainnya. Tahun Saka dimulai dari (epoch) 78 masehi. Sultan Agung tidak menghapus penanggalan Saka ini, tapi membuat penyesuaian dengan penanggalan Islam. Angka tahunnya tetap diteruskan. Sedang sistem penanggalan yang sebelumnya menggunakan matahari (surya, syamsiyah) diubah menggunakan bulan (candra,  qomariyah), mengikuti sistem penanggalan Islam. Nama-nama bulannya pun disesuaikan dengan pengucapan Jawa, sebagian perubahan dari bahasa Arab, dan sebagian dengan istilah Jawa sendiri. [caption id="attachment_1676" align="alignnone" width="594" caption="Kedatangan. Sekitar setengah jam menjelang tengah malam, kerbau-kerbau bule diarak dari Alun-alun Kidul memasuki pelataran Kori Kamandungan. Sampai dipelataran, telah disediakan makanan kesukaan para kerbau, ketela pohon dan disediakan juga seember kopi dan air kembang setaman untuk minumannya. Terlihat, para Sruti Mahesa terus menyertai mengawal dan menenangkan kerbau-kerbau bule itu."]
[/caption] [caption id="attachment_1679" align="alignnone" width="612" caption="Keturunan. Kerbau Kiai Slamet yang ada sekarang adalah keturunan dari kerbau Kiai Slamet pertama yang hidup pada masa Pakubuwono II. Jumlahnya ada 11 ekor, dari yang masih kecil sampai yang sudah tua, dan yang mengikuti kirab kali ini berjumlah 9 ekor.  Berikut ini adalah nama 11 ekor kerbau tersebut: Kiai Bodong, Kiai Debleng, Kiai Joko, Kiai Manis Sepuh, Kiai Manis Enom, Kiai Juki, Kiai Apon, Kiai Welas, Kiai Asih, Kiai Suti, dan Kiai Kliwon. Kiai Bodong dan Kiai Debleng tidak mengikuti kirab dan diistirahatkan karena sudah terlalu tua. "]
Kerbau Kiai Slamet
Kerbau Kiai Slamet
[/caption] Bulan pertama yang dalam bahasa Arab disebut Muharram, pada penanggalan Jawa berubah menjadi Suro. Diambil dari peristiwa meninggalnya Husain bin Ali cucu nabi Muhammad pada pertempuran Karbala 10 Muharram 61 H (680 M), yang kemudian diperingati sebagai Hari Assyura (kebanyakan oleh orang Syiah). Bulan kedua Sapar dari kata Safar. Bulan ketiga (Rabiul Awal) disebut Mulud dari kata Maulud, persitiwa kelahiran Nabi Muhammad. Bulan selanjutnya Bakda Mulud (Rabiul akhir), Jumadilawal (Jumadil awal), Jumadilakir (Jumadil akhir), Rejeb (Rajab). Bulan kedelapan (Sya'ban) disebut Ruwah dari tradisi mendoakan arwah keluarga menyambut bulan Puasa. Bulan selanjutnya disebut Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Dulkangidah (Dzulkaidah), dan bulan ke duabelas disebut Besar (Dzulhijjah), untuk menyambut bulan Haji atau Besar (Rayagung). Selain bulan, Sultan Agung juga menetapkan nama-nama hari dalam seminggu, yaitu pengucapan jawa aksara satu sampai tujuh dalam bahasa Arab, Akad (Ahad), Senen (Itsnayn), Seloso (Tsalaatsa'), Rebo (Arba'aa), Kemis (Khamsatun), Jumuwah (Jumu'ah, khusus yang ini berati berkumpul), dan Setu (Sabat). Penanggalan Jawa adalah penanggalan yang sangat komplek, yang mempunyai banyak sekali hitungan. Meskikpun merubah nama bulan dan hari, Sultan Agung tetap memelihara hitungan-hitungan penanggalan lain, baik yang berdasarkan matahari ataupun dan bulan. Seperti Pranoto Mongso, bulan matahari untuk penghitungan cuaca tetap dipakai (Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Dhesta, Sadha). Siklus penanggalan Jawa lainnya juga tetap digunakan, adalah siklus 8 tahun atau Windu (Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir), siklus 2 windu (Kelawu, Langkir), siklus 4 windu (Adi, Kuntara, Sengara, Sancaya), siklus 5 hari yang disebut pekan atau pasaran (Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon), siklus 6 hari disebut Paringkelan, siklus 8 hari yang disebut Padewan, siklus 9 hari yang disebut Padangon, dan Wuku, penamaan pekan dalam siklus 30 minggu (Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Wariga alit, Wariga agung, Julangwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujut, Pahang, Kurungwelut, Marakeh, Tambir, Medangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watu gunung). Meskipun terlihat rumit, karena berdasarkan hitungan matematis, penanggalan Jawa Islam tidak pernah mengalami perbedaan hitungan, seperti perbedaan penanggalan Islam di Indonesia yang menjadi tradisi menjelang Puasa dan Lebaran. Secara resmi, Sultan Agung mulai memberlakukan penanggalan Jawa Islam pada Jum'at Legi 1 Suro 1555 Alip Kuntoro Kulawu Ajegi atau 1 Muharram 1043 H atau 8 Juli 1633 M. Sejak saat itu, penanggalan ini pun mulai berlaku di seluruh wilayah kekuasaan Mataram. Kerajaan Mataram didirikan oleh Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa (1587-1601). Penembahan Senopati adalah anak dari Ki Ageng Pamanahan, cucu dari Ki Ageng Selo. Panembahan Senopati juga anak angkat dari Hadiwijaya atau Joko Tingkir atau Mas Karebet (1549-1582) pendiri dan raja Kerajaan Pajang. Hadiwijaya menikahi Ratu Mas Cempaka, putri raja terakhir Demak, Trenggana (1483-1546). Karena itu, Pajang dianggap sebagai penerus Kerajaan Demak. Hadiwijaya sendiri adalah anak dari Bupati Pengging, Ki Ageng Pengging atau Raden Kebo Kenongo, anak dari Handayaningrat, bangsawan Majapahit, dan Ratu Pembayun, putri Raja Brawijaya, Raja Majapahit. Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Selo adalah murid dan pengikut Syeh Siti Jenar. Dan ajaran-ajaran Syeh Siti Jenar inilah, yang mewarnai kerajaan Mataram Islam selama ratusan tahun dan tetap bertahan sampai sekarang. [caption id="attachment_1695" align="alignnone" width="637" caption="Ribuan. Kirab kali ini diikuti oleh sekitar 5.000 sentono dan abdi dalem keraton, tidak termasuk wartawan, polisi, petugas keamanan, dan masyarakat umum lainnya. "]
[/caption] Syeh Siti Jenar menurut beberapa riwayat berasal dari Cirebon yang tanahnya berwarna merah, dan karena itu dia disebut juga Syeh Lemah Abang atau Siti Abrit. Siti atau lemah berarti tanah, sedang jenar, abang, atau abrit berarti merah. Dipercaya termasuk dari Wali Songo, tapi mempunyai pandangan yang cukup berbeda. Ajarannya memadukan tasawuf dengan pendekatan sinkretis dan inklusif. Terbuka dan tetap menerima tradisi yang sudah ada. Tradisi Hindu-Buddha jaman Majapahit pun dapat terus dilakukan. Karena menitik beratkan pada tasawuf, pada hakekat, konon Syeh Siti Jenar tidak terlalu mempermasalahkan syariat, peribadahan fisik ragawi. Sampai sekarang, raja-raja Mataram Islam, keluarga, dan kerabatnya menjalankan agama Islam dengan cara yang sedikit berbeda, mereka tidak melakukan sholat, puasa, dan haji. Mereka inilah yang disebut Islam Abangan, mengambil dari nama Syeh Lemah Abang, juga disebut Islam Kejawen, Islam dengan tradisi Jawa-Majapahit yang sangat kuat. [caption id="attachment_1698" align="alignnone" width="637" caption="Kelengkapan. Kirab terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan pusaka yang dibawa. Dalam setiap kelompok pembawa pusaka juga disertai dengan pedupan (pembakaran dupa), payung kertas, lampu petromak, lampu teplok (lampu berbahan bakar minyak tanah), dan oncor (penerangan dari potongan bambu yang diisi minyak tanah dan sumbu)."]
[/caption] Dalam tradisi Jawa, pergantian tahun adalah waktu yang sakral. Menandai bergantinya Nogo Dino dan Nogo Taun, berubahnya sifat dan karakter seluruh kosmis, yang kasat dan tak kasat mata, yang semuanya akan mempengaruhi kehidupan manusia. Orang Jawa menyambutnya dengan bersyukur, bercermin, introspeksi, dan pembersihan. Ritual yang dilakukan antara lain melakukan perenungan dengan bertapa atau tirakat (dari kata thariqat), mandi atau kungkum (berendam) di sungai atau umbul (kolam dari mata air), dan mencuci benda-benda pusaka yang dimilikinya. Dan sebagai pengejawantahan filosofi Cakra Manggilingan, bahwa kehidupan itu berputar seperti perputaran roda, mereka melakukan laku berjalan berkeliling, memutari sekitar rumahnya, kampung atau keraton. Pada keraton Kasultanan Jogja dan Kasunanan Surakarta, laku mlaku itu dilakukan dengan kirab bersama-sama tanpa suara dan mengarak benda-benda pusaka, sebagai simbol keraton yang ingin melindungi dan  mengayomi rakyatnya. Dan di Keraton Surakarta, kirab ini lebih unik, karena yang menjadi cucuk lampah atau pemimpin arak-arakan, adalah kerbau yang dikenal dengan nama Kiai Slamet. [caption id="attachment_1706" align="alignnone" width="630" caption="Pradaksina. Arak-arakan kirab dilakukan dengan Pradaksina, berjalan berkeliling sekitar keraton searah jarum jam, menempuh jarak sekitar 4,5 kilometer. "]
Pradaksina
Pradaksina
[/caption] Kerbau Kiai Slamet adalah kerbau albino berwarna putih kemerahan, dan karena itu biasa disebut kerbau bule. Kerbau-kerbau yang ada sekarang adalah keturunan kerbau pada masa Sri Susuhunan Pakubuwono II (1711-1749). Konon kerbau bule ini asalnya adalah hadiah dari Bupati Ponorogo, sebagai pengawal hadiah utamanya, yaitu sebuah pusaka yang bernama Kiai Slamet. Kerbau ini pun kemudian sering disebut dengan kerbau Kiai Slamet. Karena badannya yang tegap, gagah dan warna kulitnya yang unik, kerbau bule ini menjadi hewan kesayangan (klangenan) Pakubuwono II. Sri Susuhunan Pakubuwono II adalah raja Mataram Islam ke-11, atau raja Kasunanan Kartasura ke-5, atau raja Kasunanan Surakarta pertama. Pada masanya terjadi pemberontakan besar dan perpecahan Mataram. Pemberontakan besar yang terjadi dikenal dengan peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan komunitas Tionghoa di Jawa yang didukung oleh Raden Mas Said (Sultan Hamengkubuwono I) dan Pangeran Mangkubumi (Adipati Mangkunegara). Pemberontakan ini berhasil menduduki Keraton Kartasura. Dengan bantuan Belanda, pemberontakan berhasil ditumpas, tapi Keraton Kartasura sudah hancur. [caption id="attachment_1708" align="alignnone" width="581" caption="Antusias. Meskipun kirab molor beberapa jam, penonton tetap antusias menyaksikan jalannya kirab."]
[/caption] Keraton Kartasura yang sudah hancur tidak bisa begitu saja diperbaiki. Robohnya keraton berarti robohnya juga kewibawaan atau kekeramatan dari tempat tersebut. Karena itu  Pakubowono II memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaannya. Balanda menyarankan keraton baru dibangun di daerah Tingkir Salatiga, wilayah arah utara Kartasura. Tapi Raja mempunyai pemikiran sendiri. Diutusnya Tumenggung Tirtowiguna, Pangeran Wijil, Tumenggug Honggowongsono dan abdi dalem lainnya, serta Van Hohendorf perwakilan VOC untuk mencari lokasi keraton yang baru. Yang menarik, didalam rombongan ini juga ada kerbau Kiai Slamet, kerbau bule kesayangan Pakubuwono II. Menurut wisik yang diterima, tempat yang tepat untuk mendirikan keraton adalah tempat dimana kerbau Kiai Slamet berhenti. Maka rombongan inipun berjalan kesana kemari mengikuti sang kerbau sebagai cucuk lampah. Rombongan sempat singgah di Desa Kadipolo dan Sonosewu. Tapi Kiai Slamet masih terus berjalan, hingga sampai di daerah hutan berawa-rawa yang dikenal dengan nama Desa Sala. Di Desa Sala ini kerbau Kiai Slamet berhenti dan tidak mau melanjutkan perjalanan. Maka diputuskan inilah tempat yang akan dijadikan keraton baru kerajaan Mataram. Setelah babad alas dan pembangunan selama sekitar satu tahun, pada Rabu Paing 14 Sura 1670 Je Sancaya Kulawu Ajegi atau 14 Muharam 1158 Hijryah atau 17 Februari 1745, keraton Kartasura pindah ke lokasi barunya, dan nama kerajaanpun berubah menjadi Surakarta. Kemudian atas jasanya ini kerbau Kiai Slamet pun dianggap sebagai pusaka keraton dan anak keturunannya dikeramatkan sampai sekarang. [caption id="attachment_1711" align="alignnone" width="612" caption="Tanpa Kekang. Yang cukup unik, para kerbau ini berjalan tanpa kekang, tanpa (pecut) cemeti. Mereka seolah-olah tahu harus berjalan kemana. Para pawang hanya sesekali mengarahkan dengan berbicara kepada kerbau-kerbau ini."]
[/caption] Penggunaan kerbau untuk menentukan lokasi keraton ini kemungkinan terinspirasi dari sejarah Nabi Muhammad ketika akan membangun rumah di Madinah. Setelah Hijrah dari Makkah dan sampai di Madinah pada tahun 622 m atau 1 H, beberapa kelompok pendukung Nabi berebut menawarkan tanahnya untuk rumah Nabi. Karena tidak ingin mendukung satu kelompok dan mengecewakan kelompok lain, Nabi memutuskan untuk menyerahan lokasi pembangunan rumahnya pada onta tunggangannya. Rumah Nabi akan dibangun dimana onta tersebut berhenti dan duduk. Keputusan ini dapat diterima semua orang, karena tidak akan ada yang iri atau protes kepada ‘keputusan’ onta. Setelah berputar-putar kota Madinah, akhirnya onta Nabi pun berhenti dan duduk. Dan ditempat ini kemudian dibangun rumah Nabi dan Masjid al-Aqsha, yang sampai sekarang berdiri sangat megah. Karena di tanah Jawa pada masa Pakubuwono II belum ada onta, maka untuk meniru perbuatan Nabi tersebut, digunakanlah kerbau sebagai penggantinya. Kerbau adalah hewan yang sangat merakyat. Banyak dijumpai dalam banyak cerita rakyat di seluruh Indonesia, seperti kerbau Marcuet di jaman Majapahit Jawa Timur, kerbau Danu dan Joko Tingkir di Demak Jawa Tengah, asal mula Minangkabau di Sumatera Barat, cerita Sungai Kerbau di Samarinda Kalimantan Timur, Kerbau Putih dan Putri Tandampalik di Sulawesi Selatan, dan masih banyak lagi. Banyaknya cerita tentang kerbau karena hewan ini memang sangat dekat dengan kehidupan nyata sehari-hari kebanyakan masyarakat agraris Indonesia. [caption id="attachment_1714" align="alignnone" width="651" caption="Beragam. Tradisi kirab Kiai Slamet ini dimaknai berbeda-beda. Banyak yang mengikutinya untuk berharap berkah, dengan mengikuti kirab sampai selesai, memunguti kotoran kerbau, menyediakan dagangannya dimakan kerbau, atau dengan sekedar hadir dan menontonnya langsung. Ada yang menganggapnya tradisi yang perlu dijaga. Ada juga yang menganggapnya sekedar acara unik yang perlu ditonton."]
[/caption] Sebagai negara agraris yang menggantungkan hidupnya pada pertanian, kerbau adalah hewan serbaguna yang sangat membantu. Dapat digunakan sebagai penarik gerobak, pembajak sawah, dan tugas-tugas lainnya. Tapi seiring waktu, peranan kerbau semakin tergeser. Bersamaan dengan kehidupan pertanian yang semakin ditinggalkan. Bersamaan dengan kondisi negeri yang semakin suram.

Entah apapaun tradisi dan sejarah yang mendasarinya, arak-arakan kirab kerbau Kiai Slamet ini dapat juga (dulunya) dianggap sebagai penegasan dan pengakuan negara tentang pentingnya pertanian yang menjadi pokok kehidupan rakyatnya. Pertanian yang menjadi cucuk lampah kehidupan negeri.

::: Untuk foto-foto selengkapnya dan tulisan-foto lainnya bisa dilihat di blog kalamata ::: Bahan Bacaan:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun