Mohon tunggu...
Plum
Plum Mohon Tunggu... -

Politics, Pop Culture and Trending Analysis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Jokowi Simbol Kemajuan Jakarta

14 Mei 2017   00:52 Diperbarui: 14 Mei 2017   02:42 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akan tetapi dalam setiap administrasi pemerintahan pastinya ada kritikan, terutama dari opisisi politik dan juga mafia-mafia yang merasa terancam digebrak oleh kinerja pemerintahan yang baik. Isu penentangan yang cuku besar dimulai dengan masalah penggusuran dan relokasi masyarakat. Kelompok yang anti Jokowi Ahok selalu menempatkan masyarakat yang digusur sebagai "KORBAN". "KORBAN" yang dirasa sudah disakiti oleh pemerintahan baru ini. Namun benarkah mereka korban, walaupun mereka sudah tahu mereka menjajaki wilayah yang bukan milik mereka secara resmi, mereka sudah tahu kedudukan dan pembangunan mereka menyebabkan banjir serta keadaan mereka disana pun sangat tidak kondusif dan manusiawi. Ketika mereka direlokasi ke rumah susun yang sudah digratiskan pada 1-3 bulan pertama, mereka menunggak, karena pada dasarnya mereka tidak mampu dan tidak siap untuk hidup di Jakarta dan penghasilan merekapun tidak tetap. "KORBAN" yang dikatakan ini hingga melaporkan ke Komnas HAM karena kasus ini, mereka lebih menginginkan tinggal ditempat yang memiliki sumber air dan sumber pembuangan yang sama, sangat kotor dan kumuh dibandingkan membayar rumah susun yang sudah disubsidi. 

Dalam kasus korupsi dan birokrasi pemerintahan Jokowi Ahok juga sering diserang dan terkadang ini terlihat dibuat-buat. Ini sudah terlihat jelas sekali terutama pada masa kampanye pemilu presiden 2014 dan kampanye pemilu gubernur 2016. Jokowi dan Ahok bukanlah calon yang terlilit dalam gelutan partai mereka. Ahok telah banyak berpindah aliansi dan Jokowi merepresentasikan gelombang representasi PDIP yang baru, terlepas dari imagenya yang selalu dihubungkan dengan Megawati. Mereka berdua sangat berbeda dengan politisi seperti SBY, Prabowo dan Aburizal Bakrie yang lebih dikenal sebagai wajah partainya karena mereka yang menyetir narasi kelompok politik mereka sendiri, sehingga ketika terdapat korupsi, permainan politik, espionase dan skandal lainnya, mereka pastinya akan dikaitkan sebagai payung kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kelakuan representasin mereka. Jokowi dan Ahok termasuk calon yang tidak neko-neko, mereka lebih ingin fokus dalam pekerjaan yang ada didepan mata, tidak memperdulikan bagaimana narasi dan permainan politik yang ada. Mereka juga bukan merupakan pemimpin yang nepotis dan punya RASA GOTONG ROYONG YANG TINGGI terhadap korupsi seperti SBY misalnys, sehingga sering oposisi mereka membuat-buat isu dengan memainkan miskomunikasi berita ataupun mendistorsikan fakta pada kasus-kasus seperti BLBI dan sumber waras. 

Masyarakat tidak terlalu mempedulikan masalah kritik yang melanda Jokowi Ahok, bahkan hingga titik akhir, lebih dari 70% puas dengan kinerja Ahok, sehingga memang tidak masuk akal jika kita melihat konsep dan praktek demokrasi, angka ini sangat tidak sepedan dengan hasil Pilkada. 

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/12/16040201/survei.smrc.76.persen.warga.jakarta.puas.akan.kinerja.ahok-djarot

Tapi beginilah terkadang realitanya ketika demokrasi dimainkan oleh politik elit yang memiliki agenda. Pembangunan narasi yang kuat justru akan mengalahkan kinerja nyata dan fakta yang benar-benar ada dilapangan. Rakyat lebih terpengaruh oleh apa yang dikatakan lingkungan disekitarnya dibandingkan melihat sendiri bagaimana progressnya secara nyata. Permainan narasi oleh elit politik ini juga sepertinya sudah mentargetkan Ahok dengan sangat berat yang juga bertujuan untuk membuat Jokowi timpang. Naif jika masyarakat berpikir gelombang Aksi Bela Islam yang cukup besar HANYA mentargetkan Ahok saja. Sholat jumat setiap minggu dikampung-kampung sekitaran Jakarta dari dulu sudah menyuarakan kebencian terhadap agama Nasrani, Yahudi, Kaum Tionghoa dan juga Ahok. Mereka selalu menggunakan Al Maida sebagai justifikasi untuk menghinda dan menjelek-jelekkan agama lain, terutama masjid-masjid yang berkoalisi bersama partai seperti PKS dan kelompok islam seperti FPI dan HTI. Mereka selalu menggunakan bahasa yang lebih kasar dibandingkan Ahok, seharusnya mereka juga dihukum. Namun beginilah permainan narasi dan catur elit politik. 

Istilah Ahokers sudah menjadi salah satu token untuk menjelek-jelekan bahkan mendeligitimasikan (mengecilkan) masyarakat yang mendukung Ahok dan juga Jokowi (dimana dulu dinamakan Jokowers), karena sepertinya siapapun yang bisa mengapresiasi perubahan dan perbaikkan yang dilakukan Jokowi dan Ahok di Jakarta seolah-olah nista terhada Islam dan komunitasnya. Ahokers dianggap tidak memiliki hati pada rakyat kecil yang digusur ataupun bersimpati pada rakyat asli Jakarta yang sudah lama berduduk di Ibu kota. Banyak orang luar seperti saya tidak terlalu dianggap, karena seperti Ahok yang merupakan orang luar juga, saya merupakan orang luar yang tidak mengerti apa=apa tentang keadaan di Jakarta. Namun kelompok itu perlu menyadari bahwa Ibu Kota kita BUKAN HANYA MILIK ORANG ASLI JAKARTA DAN YANG BER-KTP DKI, Ibu kota milik seluruh rakyat Indonesia. Siapapun yang mampu dan memiliki tekat untuk menjadi pemimpin, mengabdi dan bekerja di DKI harus diberi kesempatan yang sama. Siapapun Gubernurnya warga DKI dan non DKI akan terpengaruh sama rata, sehingga dikotomi ini sangat perlu diperbaiki. 

Disaat yang sama, sungguh ironis karena banyak sekali pasukkan Bela Islam yang mempengaruhi pemilu ini berasal dari daerah-daerah di luar Jakarta dan Jawa. Kelompok Islam ini juga memiliki banyak sekali pemimpin yang berketurunan Arab dan bahkan yang berasal dari Arab. Anies Baswedan juga memiliki darah Arab, namun mengapa Ahok yang berketurunan Tionghoa sungguh dibedakan? Apa ini hanya masalah agama dan ikatan islam saja? Beginilah kuatnya permainan narasi media-media online yang mereka siarkan. Masyarakat tidak dibiarkan memilih secara rasional, karena mereka sudah diarahkan, sebagaimanapun ironis dan munafiknya agenda kelompok Bela Islam ini. 

Menggunakan EMOSI dan rasa amarah, dendam, persaudaraan dan nasionalisme memang mudah untuk menggerakkan masyarakat dalam berpolitik. Namun emosi itu tidak bisa dipercaya, mudah berubah dan mengaburkan akal sehat dan kenyataan. Fakta, rasionalisme dan kenyataan mau kita percaya atau tidak. akan terus menggilas kehidupan kita. Mau bagaimanapun kecewanya masyarakat yang digusur, jika mereka terus hidup dikali dan bantaran sungai, permasalahan seperti banjir dan penyakit akan terus datang. Sebagaimanapun sukanya kita terhadap SBY, tidak akan menghilangkan FAKTA bahwa administrasinya memang memiliki masalah korupsi yang besar. Seberapapun bisa menerima atau tidak, tapi faktanya Agama tidak menentukan kualitas pemimpin dan Indonesia FAKTANYA bukan negara Islam. Saya bangga menjadi Ahokers, karena pemimpin saya tidak menjilat, melakukan propaganda, menghakimi dan tidak menggunakan rayuan-rayuan gombal yang biasanya dilakukan oleh politisi biasa pada saat pemilu, melainkan berpatut pada fakta dan kenyataan yang ada terhadap permasalahan yang dialami Jakarta dan solusinya. Memiliki pemimpin yang menyerahkan secara total pilihan kedudukannya pada kita sebagai rakyat sungguh jarang, karena selama bertahun-tahun pemilih banyak ditekan maupun diserang oleh politik uang untuk mempengaruhi pilihannya.   

Saya  bangga menjadi Ahoker, dalam masa jabatannya bersama Jokowi hingga sekarang, Jakarta memiliki perubahan yang cukup pesat dan sudah agak mampu mengejar negara ASEAN yang lebih maju seperti Singapura dan Malaysia. Infrastruktur kita lebih baik, lebih aman, lebih nyaman dan rakyat juga bisa memiliki akses lebih mudah.  Sayangnya memang saat ini saya rasa kita telah melangkah kebelakang, bukan karena Ahok gagal, tapi CARA kegagalan Ahok dan permainan politik elit korup yang semakin merudung Jokowi. Pesatnya berita propaganda online yang bombastis dan palsu, mudah menargetkan masyarakat yang ekonomu dan pendidikannya masih kurang. Merekalah yang nanti paling terksakiti oleh mobilisasi elit-elit korup ini. Masyarakat bela islam telah mengarahkan kemarahannya ke arah yang salah, bukannya pada donor-donor yang memberikan uang untuk sesaat, ,mereka malah mengecam pemimpin-pemimpin yang ingin membangun kesejahteraan mereka secara berkepanjangan. 

Saya  bangga menjadi Ahokers, karena baru pertama kali saya memiliki pemimpin yang giat dalam melayani masyarakat, bisa dihubungi dengan mudah dan selalu meningkatkan komunikasinya dengan masyarakat. Sudah tak terhitung berapa mahasiswa sudah bertemu dan melakukan wawancara dengan Ahok dan berapa jumlah masyarakat yang sudah bermusyawarah dengan beliau. Selama ini pemimpin daerah yang saya temukan mayoritas hanya rajin bertemu dengan rakyat atau konstituennya jika ada perlunya saja, biasanya saat pemilu atau pun setahun sebelum pemilu. Ini sudah merupakan norma pemilu korup di Indonesia dan ini juga saya telah alami dengan Pak Anies ketika beliau menjabat sebagai menteri Pendidikan dan juga dosen di Paramadina.  

Saya bangga menjadi Ahokers, walaupun ditengah elit politik yang korup, pesimisme dan polarisasi yang terbentuk dimasyarakat, kita semua memiliki harapan yang mendalam terhadap Jakarta dan Indonesia. Ibu Kota kita tidak semena-mena bergantung dari siapa yang memimpin, rakyatlah yang harus bangkit lebih dan menerima kenyataan. Sebagaimanapun mereka terbuainya dengan isu-isu yang dikeluarkan oleh kelompok bela islam ini, kita semua pada akhirnya harus jujur pada diri sendiri, apakah keadaan pasca Ahok akan lebih baik? Menurut saya Ahok memberikan kita sebuah sampel akan bagaimana potensi Jakarta yang sebenarnya dan beliau juga telah memberikan peta yang mampu mengarah pada perbaikan Jakarta. Ini semua akan menjadi contoh pembelajaran yang baik bagi kita semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun