Mohon tunggu...
Plum
Plum Mohon Tunggu... -

Politics, Pop Culture and Trending Analysis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dan Jokowi Simbol Kemajuan Jakarta

14 Mei 2017   00:52 Diperbarui: 14 Mei 2017   02:42 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya merantau ke Jakarta untuk sekolah berberapa tahun sebelum Jokowi-Ahok menjabat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Saya ingat persis keadaan Jakarta pada saat itu, begitu kontras, kotor, panas, padat dan masyarakat sudah membiasakan semua keadaan itu. Dari awal saya selalu menggunakan transportasi umum dan merupakan pejalan kaki di Jakarta, sehingga saya tahu persis bagaimana seluk beluk kota Jakarta. Waktu itu saya sempat mengambil jurusan Arsitek yang mengharuskan saya sering melakukan proyek untuk mengamati kampung-kampung kumuh hingga dertan toko-toko mewah di Kemang. 

Ada salah satu mata kuliah saya yang mengharuskan saya untuk membangun stasiun kereta, terbilang cukup mudah karena saya memang ngefans naik kereta. Saya ingat persis ketika keadaan KRL Jakarta benar-benar parah, ketika kereta kelas ekonomi seperti neraka hidup, ketika stasiun kita begitu kumuh dan ketika banyak sekali penumpang gelap naik ke atas atap kereta dan dibiarkan begitu saja oleh petugas. Setiap bulan dan bahkan setiap minggu kita selalu  mendengar berita bahwa penumpang-penumpang ini meninggal karena tersambar listrik diatas kereta. Stasiun penuh dengan toko-toko gelap yang padat dan menjadi tempat yang cukup berbahaya jika tidak berhati-hati. 

Jakarta dari dulu memang bukan tempat yang baik bagi pejalan kaki seperti saya. Trotoar kotor, rusak dan didominasi oleh pedagang kaki lima illegal yang membuang sampahnya di got sehingga sering menyebabkan banjir dan sarang demam berdarah. Tukang sampah dan kebersihan hanya datang sekali-sekali saja dan ini yang membuat jalan raya kita menjadi merisihkan dan terkadang menjadi sumber penyakit.  

Kendaraan umum seperti Busway juga berjalan sangat lambat dan jalanan kita masih didominasi oleh angkutan umum yang sudah usang seperti metromini dan bus-bus kota yang sudah jauh dari standar keamanan untuk berfungsi. Masyarakat kalangan menengah kebawah terpaksa menumpangi kendaraan ini yang sebenarnya lebih mahal daripada busway yang ber AC dan nyaman bebas dari pengamen dan pengemis. Setelah saya hitung karena satu perjalanan bus metromini saja bisa ditumpangi 3-4 pengamen dan pengemis dimana mereka terkadang sangat memaksa, uang perjalanan kita jatuhnya lebih mahal daripada naik Busway, belum lagi angkutan usang seperti itu angka kriminalitasnya seperti jambret, copet dan bahkan pemerkosa sangat tinggi. 

Masyarakat Jakarta sudah terbiasa sekali hidup ditengah-tengah banjir dan kekumuhan, mereka selalu mengeluh terhadap masalah banjir dan penyakit demam berdarah, namun mereka juga tidak mau berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan ini. Saya ingat sekali ketika mengunjungi salah satu kampung kumuh dibantaran sungai Ciliwung, dimana saya dan teman-teman saya dikonfrontasi karena masyarakat mengira kami merupakan petugas pemerintah yang ingin menggusur mereka. Sebenarnya mereka sudah tahu bahwa kedudukan mereka disana melanggar hukum, mereka sudah tahu kampung mereka merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tampungan air di sungai terhambat dan menyebabkan banjir dan mereka sudah berkali-kali di bujuk untuk relokasi, namun mereka tidak peduli, alasannya adalah mereka sudah lama menempat disana dan akan susah untuk berpindah. Tentu semua perubahan di hidup kita susah, namun bukan berarti itu membenarkan kita untuk terus diam jika ingin keadaan disekeliling kita semakin baik. 

Aksi dan tindakan dari pemerintah daerah juga sangat kurang. Masyarakat kita jarang sekali di informasikan mengenai akses untuk menghubungi pemerintahan daerah yang menjabat dan infrastruktur yang rusak terkadang dibiarkan begitu saja. Masyarakat Jakarta sudah pesimis dengan pemerintah. Jika ada lobang dijalan, trotoar rusak,. tiang listrik dijalan  tertumpuk kabel-kabel yang membahayakan pengguna jalan sudah dibiarkan begitu saja. Pemerintah hanya sekali-sekali bertindak. Saya juga sempat mendatangi kantor-kantor daerah untuk meminta sampel data  kota yang seharusnya terbuka bagi seluruh masyarakat, namun ini selalu ditimpali oleh birokrasi yang membingungkan dan saya bisa melihat petugas disana banyak ogah-ogahan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang merupakan tugas utama mereka. 

Jakarta juga merupakan Kota Mafia. Kota kita dipenuhi oleh berbagai macam mafia dan kelompok preman yang sudah mencekik masyarakat kelas bawah dan berzina dengan oknum pemerintah daerah. Mafia pengemis, mafia anak jalanan, preman pasar, preman tukang parkir illegal yang berkoalisi dengan oknum satpol PP, mafia transportasi, mafia pedangang kaki lima liar, hingga preman-preman yang menggunakan agama untuk mendapatkan uang dan keuntungan pribadi. Seluruh aspek buruk dari kota kita sudah terorganisir dan memiliki entitas yang besar dibaliknya. Saya pernah mengadakan proyek dengan teman-teman saya untuk mengkalkulasikan keuntungan parkir dan pedagang illegal disalah satu pusat perkantoran di jakarta selatan, dalam satu bulan omzetnya bisa mencapai 1 milyar lebih. Berberapa tahun lalu kami juga sempat meneliti jaringan anak jalanan yang ternyata cukup sulit dilakukan karena anak jalanan dijakarta sudah dikontrol kuat oleh jaringan mafia, selalu ada 2-3 orang yang mengawasi satu anak jalanan yang umurnya hanya delapan tahun. Mereka sudah memiliki sistem yang kuat, teknik psikologis yang efektif untuk menekan mereka karena penghasilan anak jalanan di Jakarta juga cukup besar, sekitar 1.4 juta lebih per anak (tergantung lokasi). Namun jarang sekali anak-anak tersebut benar-benar menikmati, banyak diantaranya sudah terekspose pada kekerasan seksual, narkoba, rokok dan kriminalitas.

Ketika ada pasangan calon Gubernur baru yang bukan dari Jakarta menjabat, saya terbilang cukup pesimis, karena keadaan jakarta sudah cukup parah dan yang paling kronis adalah bagaimana masyarakat tidak mau proaktif untuk berubah, atau bahkan sulit untuk berubah bahkan jika sudah dilayani. Namun perasaan itu kemudian mereda dan berubah menjadi agak heran ketika trotoar di jalan Gatot Subroto diperbaiki. Saya awalnya berpikir ini hanya sebatas kesan awal, lama kelamaan juga akan mereda, namun pemerintahan Jokowi Ahok juga sangat proaktif bersama Ignatius Jonan yang waktu itu mejabat sebagai kepala KRL untuk memperbaiki infrastruktur KRL Jabodetabek. Perubahan terasa progressif dan berkelanjutan berbeda dengan gubernur dulu-dulu yang biasanya melakukan perubahan setengah-setengah dan secukupnya saja lalu mereka suka membiarkan ini berhenti begitu saja. Pemerintah Jokowi dan Ahok tidak takut untuk bereksperimen dalam memperbaiki infrastruktur, seperti pengadaan tong sampah dijalan atau juga sistem busway. 

Sebagai orang luar, saya tidak terlalu punya suara atau kepedulian dengan politik Jakarta sebelumnya. Saya tidak terlalu familiar dengan aspek kedaerahan seperti memilih calon yang keturunan Betawi atau yang sudah lama mengabdi dalam kancah perpolitikan metropolitan dan nasional, sehingga apa yang saya lihat dan rasakan hanyalah bagaimana kinerja,  program dan kebijakan yang ditanamkan. Ini saya rasa seharusnya menjadi aspek yang terpenting dalam memilih pemimpin manapun, yakni berdasarkan meritokrasi (kemampuan dan keahlian) dan saya benar-benar merasa Jokowi Ahok memiliki meritokrasi yang cukup tinggi. 

Pandangan ini bukan hanya dari saya, namun juga banyak datang dari kalangan mahasiswa dan anak-anak muda dulu yang sering bergelut dengan proyek-proyek dan tugas-tugas yang berhubungan dengan sosial dan kota Jakarta. Kami sudah menumpang segudang pengalaman ke Balai Kota dan kantor pemerintahan lainnya untuk wawancara, seminar ata sekedar meminta data dan perubahan ini sudah jelas terasa bahkan dikalangan pegawai pemerintah. Jokowi dan Ahok membawa meritokrasi mereka pada staff-staff yang mereka pimpin, sehingga sering sekali kita dengar adanya staff malas dan PNS yang numpang absen saja dipecat karena kinerja mereka dan ini sangat direspon positif oleh masyarakat yang sudah muak dengan kinerja PNS dan pejabat pemerintah yang seharusnya bertugas melayani mereka. 

Jokowi dan Ahok sudah memegang segudang prestasi seperti proyek waduk Pluit dan pembangunan rumah susun di bantaran kali Jakarta. Arahan pemerintahan Jokowi Ahok sudah menuju arah yang benar seperti pembangunan keatas (rumah susun) bagi rakyat miskin, menormalisasi saluran air dan pembangunan transportasi yang menjadi pusat-pusat penentu kehidupan rakyat jakarta. Perbaikan ini juga akan membantu menstimulasi ekonomi, mendukung investasi yang akan pada akhirnya mendorong kesejahteraan masyarakat Jakarta. Dalam hal-hal yang dianggap kecil pun seperti sampah, pemerintahan Jokowi dan Ahok pun cukup giat, mereka mampu mengerahkan pemulung, menaikkan gaji pasukan oranye yang membersihkan jalanan dan got serta secara rutin mengerahkan pembersihan kali dan sungai. Program-program seperti ini sangat direspon positif oleh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun