Mohon tunggu...
Avanti DM
Avanti DM Mohon Tunggu... Guru - bukan siapa tak punya apa

tak ada yang lebih menakutkan dari mempertahankan hidup

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pasca Kematian

11 November 2024   09:11 Diperbarui: 11 November 2024   09:18 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Setelah nafas Ibu terhenti dengan sekali batuk, kami memanggil nakes untuk memastikan bahwa Ibu memang telah meninggalkan kami menghadap Sang Pencipta. Aku dan adik ipar bingung, yang kami lakukan keluar masuk rumah dan bersimpangan, sambil saling tatap dan berkata bersamaan,"Aku kok bingung si, meh ngopo?" Akhirnya kami hanya bisa duduk diam. Suami dan suami adik ipar menghubungi modin dan pengurus RT untuk mengumumkan kepergian Ibu. Tak berapa lama rumah dipenuhi pelayat. Kami mulai sibuk menerima pelayat yang menyampaikan duka cita, sibuk menerima baskom berisi beras, gula, mie, krupuk, telor, minyak goreng dan teh atau kopi.

Kesibukan berlanjut dengan mempersiapkan prosesi pemandian jenazah, mengkafani, menyolatkan, dan menguburkan. Ada peralatan yang harus disiapkan. Kain Jarik untuk memandikan dan menutup jenazah, bunga ronce yang diletakkan di atas keranda, kapur barus, sabun, bedak. Aku berlarian membeli bunga, dan perlengkapan memandikan serta mengkafani. Ibu dimakamkan esok hari pukul 10.00 sembari menunggu anak-anakku, cucu pertama yang beliau sayangi lebih dari cucu yang lahir belakangan, dalam perjalanan menemui beliau untuk terakhir kali. Namun penyucian jenazah tetap dilakukan malam ini.

Selesai prosesi memandikan, mengkafani, jenazah ibu disemayamkan di ruang tengah. Aku pulang membersihkan diri, dan berjaga di samping jenazah ibu bersama suami dan adik ipar, kami sejenak memejamkan mata, karena subuh nanti aku harus ke Semarang menjemput 3 anakku. Sibungsu berangkat dari Jogja bermalam di Ungaran, di rumah orang tuaku. Sisulung dan Sitengah berangkat dari Jakarta menggunakan kereta, turun di Stasiun Poncol. Subuh kubangunkan suami dan kami menuju Semarang. Orang tua dan Bulikku turut serta. Kami sempatkan sarapan di rumah makan H Ismun lingkar Demak. Waktu menunjukkan pukul 08.00 ketika kami memasuki gerbang kota Kudus.

Lengkap sudah anggota keluarga, jenazah siap diberangkatkan. Isak tangis tertahan mewarnai keberangkatan Ibu menuju peristirahatan terakhir. Ketika keranda diangkat, adik ipar nomer dua menyorongkan setas baju Ibu yang digunakan untuk umroh. Aku mengerenyitkan dahi dan dengan suara sedikit ketus menolak melakukan permintaan menyertakan baju ibu ke dalam makam. Namun aku bersedia membawa hingga ke makam. Sulungku diminta membawa baju terakhir dan pampers Ibu, menerima dengan pandangan tak suka. 

Tiba di pekuburan, Sitengah mengumandangkan adzan untuk neneknya. Tanah mulai ditimbun menutup liang lahat. Penggali kubur mencari-cari diantara pelayat. Ketika melihat Sulungku, dia meminta bungkusan yang dibawa Sulungku. Serentak aku bersama Sulung dan Bungsu menolak memberikan bungkusan tersebut. Pelayat serentak memandang ke arah kami yang berdiri berjejer. Suamiku memandang Sitengah yang berdiri di bibir liang lahat, menggelengkan kepala tanda menyetujui keputusan kami bertiga untuk tidak menyerahkan bungkusan sampah.

Sang Penggali tampak murka,"Lha itu sampah buat apa kok nggak ikut dikuburkan." Sulung dan bungsuku berbisik pelan ke telingaku, "Lha tau sampah, kenapa gak dibuang ke tempat sampah, malah suruh bawa dan ikut dikuburkan. Malah nyampah di makam." Aku tergelitik untuk tertawa alih alih meletakkan tangan ke bibir.

Selesai menutup rapat liang lahat dengan tanah, bunga ditaburkan, doa dipanjatkan, kami pun berjalan pulang dengan hati dan pikiran masing-masing. Anak-anak merasa kehilangan nenek yang mengiyakan setiap permintaan mereka. Suamiku kehilangan ibu, dan secara resmi dia menjadi yatim piatu. Aku melihat kematian sebagai suatu kepastian yang tidak bisa dihindari siapapun. Tidak membawa apapun, tidak satu pun, bahkan sehelai benang dari baju kesayangan ketika umroh. Memisahkan semua urusan dunia. Lantas kenapa irang begitu mati-matian menimbun benda tak bermanfaat di rumahnya? Kenapa saling menyakiti hati dan fisik manusia lain? Kenapa ingin lebih dari manusia lain? Ketika maut menjemput yang diusahakan mati-matian tidak menemani dalam kepastian kematian yang dia temui. Menyedihkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun