Mohon tunggu...
Avanti DM
Avanti DM Mohon Tunggu... Guru - bukan siapa tak punya apa

tak ada yang lebih menakutkan dari mempertahankan hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku Seteruku

6 Desember 2020   22:12 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hubunganku dengan Ibu tidak bisa dikatakan harmonis, jauh dari idaman, apalagi idola. Dalam satu minggu, minimal satu hari aku bertengkar dengan Ibu. Mulai dari rebutan kamar mandi, tak kebagian sarapan, seragam belum disetrika, masih bersambung malamnya dengan belajar bersama di ruang keluarga. Meski memiliki kamar sendiri, karena listrik belum menyapa desa kami, belajar di ruang keluarga yang berlampu petromaks seterang lampu philips jadi pilihan. Suka tidak suka.

Kapan tepatnya kami mulai berseteru, rasanya sejak aku dalam kandungan. Karena Ibu memang tak menghendaki kelahiranku. Menikah Desember, Februari aku lahir jelas suatu fakta yang tidak bisa diabaikan untuk jadi alasan menolak kehadiranku memperpadat penduduk dunia. Aku merasa dibedakan dari adik adikku. Catat ya, merasa. Buat Ibu tentu saja beliau sudah berlaku adil dong. Mana ada Ibu yang mengakui kalau tidak adil, padahal yang pasti adil itu cuma satu, Allah SWT. Lainnya jelas jauh dari kata adil, apalagi pemerintah negara kepulauan antah berantah, termasuk di dalamnya Ibu.

Contohnya nih ya, buku adikku hilang, dia menangis menjerit bak orang kesurupan. Bilangnya ditaruh di laci meja, tapi tidak ada. Semua isi laci dikeluarkan tetap tidak ketemu, dan semua jari menudingku melakukan pencurian terhadap buku baru. Alasannya karena aku iri pada buku baru warna merah jambu. Segala dalih dalil alasan argumen aku keluarkan untuk membela diri, bahwa aku tidak melihat apalagi menyentuh Si buku. Tapi apalah daya, seperti kata Ali bin Abi Thalib, "Yang tidak menyukaimu, tidak akan mendengarkanmu." Dan itu terbukti. Mungkin beda ceritanya kalau kusewa Hotman Paris untuk membelaku kala itu.

Dan tahukah kalian, di mana Si buku merah jambu akhirnya ditemukan? Ketika laci kosong ditarik keluar, terlihat itu buku merah jambu menempel pada bagian dalam laci atas meja, dalam keadaan tak berbentuk karena tergencet oleh laci meja. Saking penuhnya isi laci, ketika ditarik dia menempel di bagian dalam atas, dan tergencet ketika ditutup. Seolah tak kehilangan terdakwa, mereka melemparkan tuduhan, aku mensabotase menyembunyikan di pojok laci agar terjepit dan tergencet. Nice. 

Soal pukulan dan cubitan jangan ditanya deh, pahaku bisa biru-biru karena cubitan manis Ibu. Belum tamparan di pipi itu jadi makanan ringan kalau Ibu dihinggapi kemarahan. Pendek kata apapun yang kulakukan salah. Fix.

Memasuki SMP aku memahami kenapa Ibu begitu emosional dan menjadikanku seteru. Konflik dengan Ayah menjadi penyebab utama. Ekonomi menjadi alasan untuk bertahan, tapi aku yang jadi korban menurut versiku. Bagi Ibu, dialah penyelamat masa depanku.

Duduk di bangku SMA semakin memahami rumitnya konflik ayah dan Ibu. menghindari medan perang dan menjadi sasaran, aku menyIbukkan diri dengan aneka les dan kursus. Dari bimbel, Bahasa Inggris, Komputer. Sebisa mungkin aku pergi pagi dan pulang malam, jadi bisa langsung tidur. Belajar dan mengerjakan PR kulakukan dini hari sekalian tahajud. Minggu aku pergi menelusuri daerah pinggiran kota atau hiking. Libur tanggal merah kupakai mendaki gunung. Sedihnya kalau lIbur panjang. Biasanya aku memilih pergi ke Solo tempat Nenek. Satu yang tertanam dalam benakku, aku tak ingin menjadi seperti Ibu.

Ketika aku menikah dan memiliki anak, aku mengambil hal berlawanan yang dilakukan Ibu. Meski aku berempati rasanya melahirkan, tapi tekad kuat tidak menjadi seperti Ibu membutuhkan perjuangan tersendiri. Karena kita adalah sebagaimana kita dibesarkan. Bentakan, kata ketus, makian, mengiringi pertumbuhanku tidak aku terapkan pada anak-anakku. Aku ingin mereka merasakan disayang, dan ketika mereka mengalami kesulitan, mereka bisa mengandalkanku. Meski tanpa kekerasan, anak-anakku tetap menilai pendidikan yang kuberikan keras. Tetap saja warna dasar tak bisa aku hilangkan. Namun mereka sadar bahwa yang kuberikan untuk mendisiplinkan mereka, memahami tanggung jawab minimal terhadap diri sendiri. Kalau bertanggung jawab terhadap kewajiban diri sendiri bisa, pasti terhadap agama bisa. Kalau terhadap agama bisa maka terhadap orang sekitar dan orang tua juga bisa.

Aku tidak menuntut nilai sempurna dan ranking pertama seperti aku dituntut dulu. Bagiku, berusaha semaksimal mungkin yang utama. Sekolah bukan perlombaan, tapi membentuk pola pikir dan kepribadian. Silahkan ingin kuliah dimana saja mempelajari apa yang disuka. Tapi bertanggung jawablah terhadap pilihan itu. Jadilah ahli pada bidang yang ingin ditekuni. Soal pekerjaan dan gaji, itu sudah diatur oleh Allah SWT.

Bagaimana pun aku tetap berterima kasih pada Ibu, karena beliau lah aku ada di dunia. Dan berkat beliau aku belajar jadi tempat curahan hati anak-anakku dan mendekat dengan pola asuh yang 180 derajat dari pola asuh yang kuterima. Aku belajar  dibentak, dimaki dijadikan kambing hitam, tak pernah didengar, bukanlah hal yang menyenangkan. Aku juga menyadari beliau menjadi seperti itu, karena konflik tak berkesudahan. Ibu memang seteruku, tapi juga malaikatku. Beliau mengurusku, meski dikarenakan kewajiban, tapi beliau tetap mengurusku. Berapa banyak Ibu yang tega membuang anaknya, atau mentelantarkan demi kesenangan pribadi? Tidak ibuku. Allah sudah mentakdirkan seperti itulah jalan cerita hubunganku dengan Ibu. Tidak seperti teh yang baru diseduh, hangat dan manis. Mungkin seperti empedu, meski pahit, tak ada yang mau kehilangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun