Mohon tunggu...
Aurel Nurfalah
Aurel Nurfalah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ikom FISIP Untirta

Dalam menuntaskan tugas mata kuliah Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Maladministrasi dalam Kehidupan Bernegara

7 Desember 2019   14:20 Diperbarui: 7 Desember 2019   14:42 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh* : Aurel Nurfalah

Dewasa ini, masyarakat lebih mengenal maladministrasi sebagai kesalahan administrasi yang dianggap sebagai hal sepele. Namun nyatanya, hal sepele ini kian hari kian marak terjadi. Hal ini bahkan dapat dijumpai dari kegiatan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan sekolah yang merupakan lembaga pendidikan, tempat yang dijadikan sebagai teladan, masih kerap melakukan tindakan maladministrasi terhadap warga sekolah. Apalagi jika dibandingkan dengan lingkup besar seperti negara

Oknum-oknum yang melakukan penyelewengan ini bisa jadi siapa saja. Guru, pegawai pemerintah, atau bahkan wakil rakyat yang seharusnya mewakili suara rakyat justru bisa dengan sengaja melakukan maladministrasi.

Bentuk tindakan maladministrasi ini bisa berupa apa saja. Maladministrasi menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, mencakup banyak hal yang dapat menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil serta situasi ketidakadilan yang merugikan hak-hak warga negara. Seperti yang baru-baru ini terjadi, kasus maladministrasi dimana aparatur pemerintah desa menyalahgunakan dana desa yang diberikan oleh pemerintah pusat demi kepentingan pribadi. Akibat temuan tersebut, dana desa dibekukan sementara hingga hasil investigasi penyalahgunaan tersebut dapat diselesaikan oleh Kemendagri. Penyelewengan ini terjadi pada tingkat desa, tapi bisa saja terjadi di tingkat kecamatan, hingga provinsi. Mengingat pengawasan yang dilakukan pemerintah belum bisa dilaksanakan dengan sempurna.

Maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia ("UU 37/2008") diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Menurut Hendra Nurtjahjo dkk dalam buku Memahami Maladministrasi (hal. 11-12) yang saya akses dari laman Ombudsman RI menjelaskan, bahwa definisi maladministrasi termasuk ke dalam perilaku dan perbuatan melawan hukum, perilaku dan perbuatan melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu, kelalaian, pengabaian kewajiban hukum, dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat maupun  perseorangan.
Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.

Hendra dkk menjelaskan yang termasuk dalam bentuk tindakan maladministrasi ialah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dikarenakan adanya beberapa hal berikut, seperti mis conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor, deceitful practice yaitu praktik-praktik kebohongan, tidak jujur terhadap publik, masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya untuk kepentingan birokrat, korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk di dalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain kelompok maupun korporasi yang merugikan keuangan negara, defective policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindak lanjuti menjadi kenyataan,

Ada juga bureaupathologis yang merupakan penyakit birokrasi yang meliputi indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-kasus yang di peti es kan. Red tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Cicumloution yaitu penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. 

Lebih tepatnya seperti banyak janji tetapi tidak ada yang ditepati. Banyak kata manis yang diucapkan hanya demi menenangkan gejolak massa. Kadang-kadang banyak kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat. Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus-perkasus. Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya, seperti 'asal Bapak senang'. 

Kecenderungan birokrat ini biasa melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik. Over staffing yaitu gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi. Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana fungsinya, dan defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaiamana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabuhi. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.

Pengetahuan mengenai tindakan maladministrasi ini seharusnya dapat lebih disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain dapat membantu pemerintah dalam fungsi pengawasan, masyarakat yang terlibat dalam pengawasan ini tentu bisa mendapatkan kembali hak-hak yang sudah diambil. Dalam upaya membantu meningkatkan upaya pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi dan usaha yang tidak beretika yang sejalan dengan firman Allah swt :

Terjemahnya:
dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Tapi tentunya, pencegahan dan pengawasan tindakan maladministrasi ini dapat berjalan dengan lancar apabila diri kita sendiri yang mulai memperlakukan diri dengan adil, seperti dengan tidak sewenang-wenang dalam tanggung jawab yang diberikan. Sehingga kita dapat mencegah tindakan-tindakan melawan hukum tersebut mulai dari diri sendiri, orang sekitar, hingga tingkat negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun