Kalau ngomongin soal manfaat atau makna buku, saya teringat masa kecil di pelosok Sumatra. Mencium bau toko buku cukup memuaskan meskipun butuh waktu enam jam dan melewati perhutanan.
Si kecil dengan kebahagiaannya yang dijatah setiap bulan satu literatur oleh sang ayah. Sebulan sekali ke kota, bunda sibuk dengan belanja bulanannya dan saya berlarian di antara rak-rak buku.
"Orang yang masa kecilnya tumbuh bersama bacaan merupakan salah satu bentuk privilege"
Saya juga baru sadar usai mendengar kalimat itu. Selama ini, saya hanya menikmati sambil membolak-balik halaman di atas kasur atau kursi ruang tamu.
Akses dunia literasi sejak kecil hanyalah sebuah keberuntungan remeh atau sekadar kebetulan, begitu pikiran bodoh zaman dulu.
Saya cuma asik membuka plastik, menciumi wangi buku baru, berimajinasi tentang kepopuleran cerita KKPK, mengagumi grafis majalah Bobo, dan menumpuknya di lemari.
Tidak ada pemikiran bahwa membaca sepenting itu. Saya juga sempat berpendapat alasan jatuh cinta pada literasi karena nama tengah yang mengikuti Kahlil Gibran.
"Nama adalah doa"
Bukankah begitu kata orang? Ya saya bisa salahkan pada sang ayah yang menyematkan nama sastrawan pada anaknya.
Sejak lahir sudah seperti ditentukan arah hidup berdasarkan arti nama, lalu tumbuh dan besar bersama tumpukan buku.