Dueng!
Gong dibunyikan, lampu dimatikan, dan tirai merah dibuka. Penonton yang riuh mulai membisu. Mata-mata tajam ke panggung. Di sana, ada para bandit yang berdetak gugup. Bandit-bandit itu menarik napas dalam dan memulai aksinya. Berlari senyap menyusuri rumah gabus mewah.
"Hey!" teriak tukang jamu gendong. Kebaya kutu barunya menunjukkan tubuh kurusnya yang harus menopang jamu sebesek besar. Tulangnya pasti sudah bengkok sebelum usianya. "Wahai, Maling! Untuk apa kau susah payah memanjat pagar-pagar itu?"
Mata saling melirik, jari mulai saling menunjuk. "Ekonomi sedang kacau, tapi dunia butuh duit...." Jawaban Si Ndower membuat tukang jamu tertawa. Mereka bingung di kegelapan.
"Penonton! Maling-maling ini pikir hukumannya seringan maling berjas! Hahahaha," tawanya makin mengecil. Dia menghampiri mereka tanpa arah. "Duh kalian ini sudah hitam, pakai baju hitam, di jalan gelap lagi," tukang jamu itu mengomel asal. Para bandit membisu.
Dia membisikkan mantra pada telinga-telinga di sana. Suaranya merasuk yang duduk di depannya bagaikan bius berdosis tinggi. "Sssstt belilah setelan jas, baru kau bisa masuk rumah sana. Tidak perlu memanjat, cukup bunyikan bel, mengakulah kau dari petugas asuransi."
Bandit berjuba hitam itu mengangguk tanpa sadar, lalu lenyap. Tukang jamu berbalik lagi pada kursi penonton. Dialognya amat ditunggu. Tarikan napas panjangnya dimulai. Suara serak seolah membawa rahasia dari zaman perang mataram.
"Ramuan ini ramuan paling kuat untuk kalian yang butuh. Ratusan triliun untungnya. Harganya bisa ditawar. Ada yang mau beli?" tukang jamu ikut tenggelam dalam gelap.
Suasana mulai tegang. Tirai disibakkan oleh seseorang. Lampu sorot mengikutinya. Merekalah para bandit yang sudah lengkap dengan jasnya. Dasinya merah, kuning, dan biru. Si Buntung kuning, Si Ndower merah, dan Si Gendut biru. "Kami mau beli!" teriak Si Buntung.
Tukang jamu tadi muncul kembali, namun sekarang dia berkacamata dan berjas. Tangannya menggenggam botol ramuan. Si Gendut mendekat, matanya berbinar.