Postkolonialisme dibuat untuk mengonfrontasi warisan kolonial yang dibuat oleh negara Barat terhadap negara Timur jajahannya. Pemikiran ini dimulai sejak Edward Said menerbitkan bukunya yang berjudul Orientalism.
Harapan paradigma ini juga diusung agar negara bekas jajahan Barat, termasuk Indonesia, dapat membangun identitas dan kemandiriannya sendiri, tanpa bayang-bayang kolonial.
Kegagalan Praktik Postkolonialisme di Indonesia
Sayangnya, Indonesia masih terjebak di dominasi kolonialisme. Warisan yang paling menonjol dan ada sampai saat ini ialah ketergantungan secara ekonomi, politik, budaya, dan ideologi pada negara asing.
Kita masih kerap bergantung pada Amerika. Contohnya, saat mereka membuat kebijakan tarif impor yang tinggi, sektor ekonomi kita langsung terguncang.
Bukannya berani melawan, kita justru bernegosiasi dan berdampak pada sistem pembayaran QRIS. Hal ini membuktikan posisi kita masih rentan dan dipengaruhi oleh negara Barat.Â
Dominasi tersebut memperlihatkan pula kita masih terpengaruh oleh mereka dalam ranah politik. Diperlihatkan dari tawar-menawar soal ekspor belum sepenuhnya merdeka dari kebijakan Amerika. Itulah sebabnya kebijakan politik kita terkadang masih hasil dari tekanan diplomatik asing.Â
Sistem hukum dan pemerintahan Belanda pun masih terlihat jelas. Ada beberapa perundang-undangan warisan Belanda sudah dilepas, namun sebagian besar masih di bawah bayang-bayangnya.
Kemudian, budaya asing yang kerap diagung-agungkan. Dampak arus globalisasi yang terlalu deras dan tidak terkontrol ini menguatkan bukti jejak kolonial masih hadir di Indonesia.
Misal, gaya musik yang saat ini lebih banyak "mengadopsi" gaya Korea, Jepang, dan Amerika. Hal ini telah berhasil menggeser identitas lokal.