Pandangan seseorang terhadap pernikahan tergantung pada lingkungan, tempat mereka tumbuh. Jika lingkungannya memperlihatkan bahwa kehidupan rumah tangga berjalan dengan baik dan benar, individu tersebut akan melihat bahwa nikah bukan suatu hal yang menakutkan.Â
Sebaliknya, individu yang tumbuh dengan melihat lingkungan yang buruk (peceraian, KDRT, perselingkuhan, atau tidak menjalankan fungsinya secara benar), akan cenderung berpikiran negatif terhadap hal tersebut.
Mereka melihat menikah memiliki risiko yang tinggi, penuh ketidakpastian, dan berpotensi merebut kebahagiaan. Hal ini menjadi tantangan bagi setiap keluarga.Â
Peran orang tua menjadi sangat vital untuk anak dalam menentukan keputusan masa depannya. Orang tua yang disfungsional, baik sebagai pasangan maupun orang tua, akan membuat anak kebingungan menentukan standar hidup berumah tangga.Â
Sebagian besar anak yang melihat ketidakharmonisan keluarga memilih tidak menikah. Ditambah, menikah in this economy lebih berisiko dan bukanlah pilihan yang bijak.Â
Dunia makin menunjukkan kapitalisasinya. Artinya, biaya hidup makin tinggi, namun kondisi ekonomi masih belum stabil.Â
Membangun karier di kondisi ini saja sudah memiliki tantangan. Hal ini membuat menikah tampak sebagai beban tambahan.Â
Jika dilihat dari sisi tersebut, negara juga berperan penting dalam menentukan keputusan hidup. Sudah banyak survei yang menyatakan bahwa Gen Z lebih memilih tidak menikah, bahkan tidak punya anak. Prioritas mereka bukan menikah, namun kebahagiaan diri sendiri. Mengapa?
Saya balik tanya, bukankah egois jika menikah dan punya anak di saat pemerintah belum bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya? Bukankah egois jika menikah dan punya anak di saat diri sendiri belum siap secara lahir dan batin?Â
Egois jika kamu mewariskan kesengsaraan pada anak, egois jika kamu belum dapat memastikan kebahagiaan untuk anak. Ada yang bilang, "Wariskan harta pada anak, jangan trauma".Â