Kekerasan seksual di Indonesia masih sering terjadi, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Akhir-akhir ini pun anak di bawah umur juga jadi sasaran pelaku kejahatan seksual.Â
Dilansir dari laman Kemenpppa, pada tahun 2025 (sampai Rabu, 9 April 2025, pukul 11.10 WIB), total kasus kekerasan sudah mencapai 5.951 dengan korban laki-laki sebanyak 1.210 dan perempuan 5.141 korban. Kekerasan dalam kategori seksual sendiri berada di posisi tertinggi sejumlah 2.516 kasus.
Data di atas menunjukkan bahwa perempuan berada di posisi paling rentan mendapatkan diskriminasi dan kekerasan. Sayangnya, hal ini masih terus terjadi.Â
Bukankah hidup di negeri ini dengan menjadi wanita itu banyak ruginya? Harus menghadapi banyak stigma, diskriminasi, dan kekerasan di mana-mana.Â
Belum lagi kalau lingkungan sudah menerapkan budaya patriarki yang merugikan. Mereka dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.Â
Hal ini diawali dengan menormalisasi pelecehan verbal (cat calling), bahkan menyalahkan korban dengan dalih pakaian.
"Pantas, bajunya terbuka gitu."
Lalu, apa alasannya jika yang menjadi korban itu anak-anak, laki-laki, atau wanita yang memakai kerudung? Banyak yang berpendapat bahwa "Ya, salah orang tuanya. Kenapa tidak dijaga dengan baik?" atau "Lagian, kenapa pulangnya lewat jalan sepi dan gelap?" atau "Kenapa pulang malam?"
Kemudian, korban akan menerima stigma buruk. Ada sebagian orang yang menganggapnya sebagai aib. Hal ini muncul dari berbagai faktor, termasuk norma yang menganggap seorang wanita tidak perawan adalah manusia tidak baik serta budaya patriarki yang mendiskreditkan mereka.
Dampaknya, kesehatan korban menurun. Secara fisik, korban bisa terluka fraktur, trauma area genitalia, penularan penyakit seksual, nyeri pelvis kronis, dismenore, atau disfungsi seksual.Â