Mudik (mulih dilik; menuju udik) telah menjadi tradisi di Indonesia setiap hari raya keagamaan. Biasanya dilakukan ketika beberapa hari hari sebelum lebaran oleh para perantau. Kebiasaan ini berkembang karena perubahan pola hidup masyarakatnya yang memilih bekerja di kota besar.Â
Makin besar kemungkinan orang merantau, makin banyak pula jumlah pemudik. Namun, hal ini membuat jalanan penuh dan macet. Kemacetan yang melibatkan jutaan orang setiap tahun bisa mengakibatkan makin banyaknya jejak karbon.
Itulah pentingnya menerapkan konsep mudik hijau mulai sekarang. Istilah ini digunakan sebagai upaya untuk menjaga lingkungan hidup.Â
Sebab, meningkatnya jumlah pemudik setiap tahun menimbulkan masalah bagi lingkungan. Misalnya, emisi karbon dari transportasi, jumlah sampah ikut meningkat, dan penggunaan listrik yang boros.Â
Bayangkan jika ketiga hal di atas diabaikan oleh sebagian dari jutaan orang. Suhu bumi meningkat, ekosistem laut rusak, air bersih berkurang, kekeringan, banjir, perubahan musim yang tidak stabil, meningkatnya penyakit pernapasan, kanker, bakteri dan virus, populasi nyamuk, penurunan daya tahan tubuh, dan masih banyak lagi.Â
Mudik tidak hanyak sekadar rindu untuk pulang, tetapi juga berdampak pada lingkungan sekitar, termasuk diri sendiri. Kita perlu menerapkan prinsip dari mudik hijau. Apa saja prinsipnya?
1. Transportasi Ramah Lingkungan
Kita semua tahu bahwa menggunakan transportasi umum dapat mengurangi asap kendaraan. Kereta api dan bus jadi pilihan untuk hal ini.Â
Transportasi umum juga membantu mengurangi kemacetan di jalan. Orang yang pernah mudik pasti pernah mengalami macet. Hal ini tidak hanyak menyebabkan polusi udara, tetapi juga polusi hati (emosional), kelelahan, dan membuang-buang waktu di jalan.Â
Jika memiliki uang lebih, gunakan kendaraan listrik. Pemerintah pun sudah berupaya dengan menyediakan mudik gratis untuk perantau di wilayah Jabodetabek.