Mohon tunggu...
Nur Aulia Lidyanto
Nur Aulia Lidyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis seadanya

Suka jajan dan traveling, gak suka kerja tertekan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semu

3 Januari 2019   08:07 Diperbarui: 3 Januari 2019   08:47 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Nur Aulia Lidyanto

Lembayung kian turun meninggalkan jejak jingga di angkasa. Lolongan sendu dari ajak-ajak liar seolah menggambarkan kesedihan yang dirasakan iring-iringan pembawa keranda menuju tanah pekuburan. Gerimis ringan menyapu wajah-wajah sedih sanak famili si mati, menggantikan airmata di pipi mereka. 

Si Kulin penggali kubur telah siap dengan cangkul di pundak. Sebelumnya ia pula yang telah membuat lubang berukuran dua meter dan lebar setengah depa itu. Tanah kuning bercampur air hujan membuat kubangan setinggi betis dalam liang lahat. Sekalipun hujan sore itu tak deras adanya.

Kain penutup keranda disingkap ke samping, menampakkan seonggok bangkai manusia yang terbaring di dalam bungkusan kain kafan. Tiga pemuda yang diyakini sebagai anak dari si  mati, membopong jasad dan memasukkannya kedalam peti kayu jati yang di minta si mati sebelum malaikat maut menjemput. 

Awalnya pemuka agama setempat tak mengizinkan penggunaan peti sebab seorang mati harus menyatu dengan tanah dan dimakan cacing. Namun tanah pekuburan yang teramat banyak kandungan airnya mengharuskan jasad yang hendak di kubur itu mengenakannya. 

Seorang ustadz membuka tali pocong di leher dan nampaklah wajah pucat sedikit membiru di baliknya. Wajah itu disibakkan ke samping menghadap kiblat, di adzankan dan kembali peti di tutup. Membuat sesenggukan para wanita ahli waris menangis di sudut-sudut peti.

Peti kayu jati itu perlahan di turunkan dengan mengulur tali dari enam sisi nya oleh masing-masing anggota keluarga si mati. Terdengar tangisan pilu nan lara melihat peti mulai terbenam menuju dasar tanah berair. Petugas pemakaman menaburi tanah di atasnya hingga peti mati itu benar-benar tidak nampak lagi. 

Bunga-bungaan bermacam warna dan jenis mulai ditabur di atas tanah basah pekuburan. Seorang wanita paruh baya menyiramkan air mawar dari sebuah botol kaca yang ia bawa sedari rumah. Dengan linangan air mata ia menandasakan air itu hingga ke tetes terakhir.

Kelompok orang-orang berbaju hitam satu demi satu meninggalkan si mati sendirian di liangnya. Juga dengan mereka yang tadi menangis tersedu-sedu. Iring-iringan yang mengantar si mati sudah tiada lagi tampak.

Batu nisan baru dan tanah yang masih basah di tengah pekuburan umum. Padahal yang terbaring disana ialah seorang petinggi di negeri ini. Sebuah frame foto yang menampakkan seorang lelaki enam puluhan tersenyum, dengan kacamata juga kemeja putihnya. Juga payung yang menaungi nisan dan foto itu. Juga rangkaian bunga bermacam varies mengelilingi petak tanah liang lahat. Namun tak satu pun ia bawa kedalam kuburnya selain kafan dan peti mati.

"makam siapakah yang engkau gali tadi suamiku?" Istri Kulin memecah keheningan dua suami istri yang tengah duduk di kursi panjang terbuat dari bambu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun