Mohon tunggu...
Aulia MartaLestari
Aulia MartaLestari Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis adalah ruang penuangan opini paling sederhana.

Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Standar Kecantikan, Perspektif Personal atau Konstruksi Media?

1 Juni 2020   15:39 Diperbarui: 1 Juni 2020   19:35 2522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.globalbeauties.com

Cantik itu harus punya kulit putih, hidung mancung, badan langsing dan tinggi, alis tebal, dan stereotype mengenai definisi cantik lainnya nampaknya selalu menjadi patokan dasar bagaimana seseorang menilai dan memilah perempuan bedasarkan bentuk visual yang ditampilkannya.

Cantik boleh saja di definisikan, namun nampaknya respon terhadap perilaku seseorang seringkali dipilah-pilah bedasarkan kondisi fisik yang ditampilkan baik itu laki-laki maupun perempuan.

Dari adanya respon tersebut, pada akhirnya timbul banyak sekali kerumitan-kerumitan baru yang menyangkut kondisi mental seseorang, terutama pada sisi kepercayaan dan penerimaan atas diri sendiri. 

Banyaknya kasus bullying atas dasar konstruksi subjektif mengenai kecantikan seseorang seringkali berujung pada kekhawatiran mental hingga dapat berakibat bunuh diri.

Seperti kasus yang terjadi pada Rosalie Avila (13 tahun) yang melakukan tindakan bunuh diri karena menjadi korban bullying teman-teman disekolahnya yang disebabkan oleh penyakit dan kondisi fisik yang dimilikinya.

Bahkan ia sempat meninggalkan surat berisi permintaan maaf kalau dirinya jelek. Kasus serupa juga terjadi pada Hannah Smmith (14 tahun) yang melakukan tindakan bunuh diri karena mendapatkan berbagai cacian dan kecaman dari orang-orang yang tidak dikenalnya lewat media sosial.

Fenomena diferensiasi subjektif juga tidak berhenti sampai disitu saja, rasanya sudah tidak asing lagi apabila komentar-komentar warganet di Instagram para selebgram dengan wajah cantik ataupun tampan seringkali terkesan menjunjung dan menjadikan mereka pusat validasi arti cantik atau tampan dengan standarisasi yang mereka buat sendiri.

Walaupun wajah mereka hanya ditampilkan melalui layar maya tanpa pernah bertatap muka sebelumnya. Efek dari adanya standarisasi kecantikan melalui media sosial tersebut pada akhirnya akan memunculkan sebuah identifikasi yang diawali oleh adanya proses imitasi. 

Jadi, sudah bukan hal yang diluar batasan lumrah lagi apabila banyak remaja yang mengalami kondisi insecure pada masa proses pertumbuhannya.

Dilansir dari Good Therapy, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang selalu merasa insecure pada dirinya seperti trauma, memiliki masalah pada penampilannya atau body dysmorphic disorder, dan kepercayaan diri yang rendah.

Terlebih yang terjadi pada fenomena insecure yang notabenenya banyak ditimbulkan melalui interaksi di media sosial. Dimana setiap orang butuh pengakuan atas kondisi fisik, pengalaman, hubungan, dan apapaun yang dimilikinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun