Mohon tunggu...
Aulia Rahma
Aulia Rahma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ulama dan Politik, Sebuah Dikotomi?

12 Mei 2019   04:08 Diperbarui: 12 Mei 2019   04:32 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik masa modern diibaratkan seperti sebuah rumah kotor yang harus dibersihkan oleh penghuninya dan diurus sebaik mungkin. Orang-orang yang mengurus rumah tersebut dipilih oleh masyarakat yang ingin agar rumah tersebut terurus dan membawa kemanfaatan bagi mereka.

Jika rumah yang diurus itu tidak beres dan sebagian penghuninya sudah menjadi 'tikus berdasi', lalu bagaimana cara membersihkan rumah tersebut? Apalagi jika diketahui bahwa rumah itu ternyata tidak membawa kemanfaatan sama sekali atau justru membawa pada kemudhraatan dan kesengsaraan.

Menyikapi hal seperti ini, sebagian memang tentu berpendapat bahwa memang ulama lah yang harus masuk ke dunia politik itu untuk memberi contoh konkrit bagaimana berpolitik yang sesuai dengan tuntunan Islam lalu mengubah 'tikus berdasi' menjadi manusia hakiki. 

Asumsi dari pendapat ini adalah, jika ulama berada dalam arena politik, maka ia akan menjadi warna tersendiri, dan setidaknya dapat mencegah kemunkaran berlebihan yang dilakukan oleh pemimpin atau wakil rakyat.

Asumsi yang kurang terpat jika melihat kondisi politik zaman sekarang yang jauh dari nilai-nilai Islam. Apakah pantas seorang ulama masuk dalam sistem itu dengan dalih 'memperbaiki'? Jika para ulama diharuskan atau setidaknya diperbolehkan berplitik secara praktis, maka kemungkinan akan muncul stigma dalam masyarakat bahwa apa yang disampaikan oleh ulama itu memuat ideologi politik tertentu.

Sebab pada faktanya, setiap yang memasuki dunia politik akan berpikir bagaimana agar dirinya menang dari yang lain, dengan berusaha mengkampanyekan bahwa dirinya dan partainya lah yang pantas dipilih, sekalipun partai lain ada yang berbasis Islam. Maka disinilah nanti akan muncul fenomena "menjual agama untuk politik."

Ulama seperti ini tentu tidak akan bisa memberi pencerahan kepada masyarakat agar memilih pemimpin yang baik. Bahkan sebaliknya, ia telah melakukan suatu pembodohan dengan mengklaim bahwa dirinyalah yang terbaik dan 'menutup mata' bahwa pemimpin lain ada yang lebih baik.

Maka metode yang dilakukan oleh para ulama terdahulu bisa dijadikan contoh. Ulama yang tetap kokoh pada ajaran Al-Quran dan sunnah Nabi SAW. Al-Quran banyak memberikan pedoman bagaimana memilih pemimpin yang baik, dan apa saja kriterianya.

Begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW, di mana beliau sendiri bukan hanya sebagai seorang Nabi yang bertugas menyampaikan wahyu, tetapi juga berperan sebagai pemimpin umat Islam pada masa beliau hidup. Tentu hal ini juga tidak lepas dari politik, yaitu politik yang sesuai dengan Islam itu sendiri.

Pada masa sekarang, di mana sistem politik sudah jauh dari nilai-nilai keislaman, langkah yang pertama bukanlah mengubah sistem tersebut dengan sistem baru secara membabi-buta tanpa kesiapan masyarakat untuk menerimanya. Mempersiapkan masyarakat agar memahami sistem baru (dalam hal ini sistem politik Islam) adalah langkah utama bari para ulama. Persiapan itu tentu saja bermula dari jalur pendidikan yang secara kreatif dan aktif tetap berpegang pada nilai Islam.

Ketika itulah sebenarnya para ulama juga berpolitik, bahkan politik tingkat tinggi. Jadi, pada dasarnya politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, termasuk ulama. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia adalah makhluk politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun