Bukan tanpa sejarah. Nenek moyangnya dilisankan turun-temurun sebagai pelaut ulung, pengendara perahu bercandik, yang menguasai bintang dan arah angin untuk berlayar jauh. Tanpa sekolah, kecerdasan ini terbentuk dengan sendirinya.
Secara fisik, hawa laut mungkin alasan rasional dan biologis pembenaran atas rupa khas mereka yang berkulit hitam, rambut kriting. Hal lain adalah aroma amis ikan dan garam, yang menurut hidung orang-orang gunung kental dalam ingatannya.
Setahun sudah di kampung, hari-hari diisi dengan melaut membantu ayahnya. Hasil tangkapan sangat menjanjikan. Orang-orang dari kota Ruteng, dengan mobil pickup berlangganan dengan dirinya. Ikan memberikan hidup yang berkecukupan bagi dirinya dan tetangga-tetangga lain yang menggantungkan hidup dari ikan.
Modal yang cukup memotivasi dirinya untuk membeli bodi kapal yang lebih besar, agar wilayah cakupan penangkapan pun semakin jauh. Beberapa anak-anak muda kampung yang nebeng dengannya pun kini berani berutang Bank, biar memiliki perahu sendiri berkat motivasi dan bantuannya.
Dirawatnya perahu itu seperti setengah jiwanya. Matanya tertuju pada Dodo yang lewat di dermaga kayu, tempat perahu motornya ditambat.
"Dodo, mampirlah sebentar di perahu." Dodo menuruti ajakannya dan duduk dalam perahu.
Sebelum Dodo duduk, ia langsung menyerang dengan pertanyaan, "Dodo, apa kamu tidak dengar isu-isu terakhir ini?"
"Apa itu?"
"Biasalah. Temanya tentang yang sering kita bahas. Ya. Kalau bukan Pariwisata, apa lagi?
"Tentang pembangunan stan-stan jualan di Kampung Ujung?
"Bukan. Ini yang genting. Mungkin rumah-rumah kita akan digusur?"Â