Mohon tunggu...
aufa ubaidillah
aufa ubaidillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - pecinta kuliner

hobi membaca menulis dan mengamati manusia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cak Supri dan Kerupuk, Cara Tepat Bagaimana Menertawakan Waktu

26 April 2016   13:55 Diperbarui: 26 April 2016   14:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu terus berlalu, dan masa selalu berkuasa. Disaat itu pasti ada manusia yang yang meraung-raung menyesalinya, dan tidak jauh disebelahnya selalu ada manusia yang tertawa puas sampai melambai damai kepada waktu, sembari bilang “i Love Lou”. Dunia itu memang jancok, sejancok pola fikir, se Gathel cita cita manusia, se Asu impian (jancok,Ghatel,asu adalah budaya komunikasi masyarakat Jawa timur Surabaya dan sekitarnya sebagai bentuk sapaan dan umpatan) .

Pernah Suatu sore, aku mengumpat waktu. Dalam satu hari uangku hilang 2,5 juta, malamnya ketika ngopi HP ku terjatuh entah ke mana. Dititik itu, aku merasa menjadi orang terapes (tidak beruntung)  dikampungku, mungkin sekabupaten. No, bukan duitnya, tapi Nomer - Nomer penting yang memuat data klien dan kolega. Sambil mengutuk Hari sembari berzikir “jancok” berkali kali. Semuanya tak akan kembali, saat itu aku merasa waktu tertawa terbahak bahak melihatku menjadi tolol.

Keesokan harinya, aku Cangkrukan (nongkrong) dengan cak Supri,  tetangga depan rumah yang kerjanya jualan kerupuk. Sejatinya rumah yang ditempati cak Supri bukan miliknya, tetapi milik paklekku (paman), cak Supri hanya numpang tinggal. Sebagai gantinya menempati rumah paklekku dengan Cuma - cuma, dia diberi kewajiban untuk menyapu, membersihkan, dan merawat rumah paklekku. Maklumlah, rumah paklekku tergolong rumah tua, karena warisan dari Mbah kakungku (kakek).

Obrolanku dengan cak Supri mencakup hal – hal ringan terkait jualan krupuknya yang terkadang laku keras, tak jarang dia juga noroki (ganti rugi memakai uang pribadi) kerupuk yang tidak laku, karena dia harus setoran ke bosnya. Sampai ketika aku bertanya “ bojomu Nang endi cak?” (istrimu Dimana ), “bojoku minggat, nggak roh Nang endi” wajahnya sedikit mendongak ke atas sambil menghisap rokok Sampoerna Kretek dalam-dalam, tetapi tidak sedikitpun guratan kesedihan kutemukan diwajahnya, sambil menyeringai dia melanjutkan ceritanya yang diberi tanda koma hembusan kenikmatan asap tembakau “ bojoku ninggalno aku, wayahe aku belahi, mari tabrakan, terus aku sempet amnesia 6 ulan”   (istriku meninggalkan aku, ketika aku mendapatkan musibah kecelakaan, sampai aku menderita amnesia selama 6 bulan). “omahku Didol, di Gae mbayari rumah sakit, anak-anaku di Gowo ibuke, sak Ike Lei tak parani g diolehi” (rumahku dijual dipakai untuk membiyai perawatanku dirumah sakit, anak-anaku diambil ibunya, ketika aku jenguk tidak diperbolehkan) sambil menghela nafas panjang sembari matanya menerawang batas batas mendung yang menyekat batas kuasanya sebagai manusia “sak iki aku pasrah mas” (sekarang aku pasrah mas). Tapi kali ini aku tak melihat sedikitpun waktu tertawa terpingkal atas cak Supri.

Terlalu bodoh memang, kehidupan dan kebahagiaanku aku titipkan pada sekeping kartu SIM provider, goblok dan bahkan terlalu tolol. Aku gagal paham dengan cak Supri, ribuan alasan seharusnya sudah cukup untuk mengatakan kebahagiannya terenggut. Kata-kata cak Supri yang terngiang adalah “leh aku geton, berarti aku wes kalah mas” (kalau aku menyesal, berarti aku sudah kalah mas).  Jancok, logika dan kematangan konstruksi paradigma kehidupanku di dekonstruksi ulang oleh cak Supri.

Sore itu berlalu, dan cak Supri sampai saat ini masih setia menjajakan krupuknya disetiap warung – warung. Dan dia sudah memberi contoh bagaimana cara yang tepat mengolok waktu dan mencengkramnya dalam genggaman tangan. Kapanpun dia mau, dia mampu merubah waktu sesuai keinginannya, dia hanya mengharapkan pagi hari selalu menjelang walaupun malam seharusnya datang, dan dia mampu melakukannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun