Mohon tunggu...
aufa ubaidillah
aufa ubaidillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - pecinta kuliner

hobi membaca menulis dan mengamati manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan dan Putus Asa

20 Desember 2016   11:14 Diperbarui: 20 Desember 2016   11:23 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sangat sulit memahami keinginan Tuhan. Meyakini dan menganggapnya hadir dan mengawasi manusia saja, perlu konsentrasi, keyakinan, dan kepasrahan tanpa syarat.Andai pun yakin bahwa Tuhan itu ada, bukan jaminan bahwa segala ritus ibadah yg dilakukan dan dijalankan murni semata mata karena Tuhan.

Memahami Tuhan adalah seni, seni mengolah rasa dan jiwa sebagai manusia. Karena ia seni, tentu banyak reaksi dan refleksi untuk mengekspresikannya. Seni juga lah, yang menuntut manusia untuk berusaha merasakan, menghadirkan, menikmati, memaknai, dan mengagumi Tuhan. Semuanya itu memakai rasa, bukan raga.

Berbicara tentang rasa, tentu tidak ada definisi dan batasannya. Jika soal rasa saja sudah dibatasi, "rasa" itu akan kehilangan makna. Membicarakan rasa, tentu tidak dapat dipisahkan dari manusia, sebagai satu satunya makhluk berakal dan perasa. Sedangkan rasa tidak akan terlepas dari emosi dan pikiran.

Diakui atau tidak Segala keinginan dan tujuan akhir manusia pasti berkaitan dengan rasa. Rasa bangga, bahagia, sedih, pengakuan, penghormatan, kepuasan, ketenangan keselamatan, penghargaan, keamanan hingga putus asa. Sebagai makhluk perasa, sudah selayaknya dia mencari dan menetapkan "rasa" yang dituju.
Sebagai umat beragama, rasa yang dituju hanyalah keselamatan. Dalam keyakinan umat beragama, rasa selamat tidak hanya terjadi di dunia, tetapi setelah mati.

Tentu dalam pencarian rasa selamat, tidak semudah dan sesederhana yg dibayangkan. Didalamnya ada konflik dan dilematis. Seolah antara selamat dan damai selalu bertolak belakang. Damai, sejahtera, aman belum tentu menjamin keselamatan setelah mati (Akhirat). Pun sebaliknya, konflik, curiga, ketidak teraturan bisa jadi merupakan keselamatan akhirat.

Berapa banyak kasus intoleran, kekerasan, kekejian, tumpah darah, bahkan mulai Adam mempunyai anak pun semua kekacauan terjadi atas nama "keselamatan". Sebutlah konflik mahadahsyat di dunia, perseteruan qobil Habil, Israel dan Isa, namrud abrahah, perang salib, Holocaust Nazi, bosnia Herzegovina, bom bunuh diri dll.

Dititik ini, pencarian rasa "selamat" berusaha disimpulkan seolah menjadi tafsiran yg sudah finish. Penyimpulan yg dilakukan tak ubahnya sebagai bentuk putus asa atas pencarian panjang yg tidak kunjung menemui titik temu.

Bagi sebagian kaum beragama, putus asa selalu melandasi kesimpulan akhir untuk mendapatkan "keselamatan". Sulitnya menemui dan meniti kehidupan dg berbagai problematika, menjadikannya tumpul dalam berfikir dan merasa, karena dia hanya fokus pada satu tujuan dan menghiraukan sekitarnya. Jalan pintas menuju "keselamatan" menjadi pilihan akhir dalam keputus asaannya.

Dititik ini, Tuhan seakan menjadi tidak bernilai. Tuhan yang sebelumnya hanya dapat ditemui dg pengabdian, ketulusan, penghambaan, keikhlasan yg dilakukan hingga akhir hayat, dapat ditemui dengan mudah melalui jalan pintas. Bom bunuh diri, salah satunya. Dengan membunuh diri sendiri, berarti memangkas umur yang seharusnya diberikan oleh Tuhan untuk mengabdi. Dari mana nilai ikhlasnya!!! Jika umur yg diberikan Tuhan saja tidak pernah dihargai. Apakah Tuhan serendah dan semudah itu ditemui?

Bagi sebagian kaum beragama, keselamatan dapat ditemukan dg mengorbankan keselamatan makhluk Tuhan lainnya. Diera modern yang katanya menjunjung tinggi rasa kemabusiaan, dapat disaksikan berapa ratus ribu manusia yg dibunuh di Palestina dan Rohingya demi "keselamatan" untuk menjumpai Tuhan!

Sampai akhir kehidupan, Tuhan dan Putus asa akan selalu menjadi alasan dan landasan manusia untuk bertahan hidup, betapapun sebenarnya Tuhan tidak menyukainya. Apa daya, putus asa sudah mengambil alih keselamatan dengan mengorbankan keselamatan yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun