Mohon tunggu...
ilham aufa
ilham aufa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, Penulis Lepas

Masih Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengaji Kitab kala Ramadhan, dari Pesantren hingga Facebook Live

4 Juni 2017   00:44 Diperbarui: 4 Juni 2017   10:03 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: alasantri.com

Dulu, waktu masih berusia belasan, saat puasa, saya lebih banyak berkutat pada pembelajaran kitab-kitab Islam klasik yang tidak menguras otak. Sing penting barokah, khatam kitab, dapat ijazah, pulang. Sesederhana itu.

Selama beberapa tahun awal, semenjak duduk di madrasah, saya tidak pernah keluar rumah (baca, keluar kota) untuk sekadar mengaji. Di sekeliling rumah, masih banyak tokoh masyarakat alim yang mau urun rembug merayakan Ramadhan dengan serentetan karya ulama zaman pertengahan.

Uniknya, tidak semua para alim di Kudus menarget khatam sebagaimana lazimnya pesantren kilat di pesantren-pesantren lainnya. Biasanya cuma meneruskan pengajian per pekan menjadi harian. Atau, sekadar melanjutkan bacaan kitab di Ramadhan setahun sebelumnya.

Ada banyak alim di Kudus, dengan beda-beda konsentrasi keilmuan, mengadakan pengajian Ramadhan. Tersebut KH Sya'roni Ahmadi yang lebih banyak mengulas AlQuran, KH Ma'ruf Irsyad (almarhum) yang berkonsentrasi di Hadits dan 'ubudiyah, ada KH Ma'mun (almarhum) yang suka mengkhatamkan kitab-kitab tipis.

Ada juga pengajian bersama Gus Aniq yang baru dimulai pukul 10 malam. Biasanya selesai pukul satu dinihari. Tapi kalau sudah menjelang pertengahan puasa, berakhir pukul duaan, bahkan lebih. Untungnya kiai muda ini (saat itu) menyediakan teh hangat dan pisang goreng hangat pelepas ngantuk pada saat istirahat pas tengah malam pukul 12.

Ada satu lagi terakhir, pembahasan ilmu kalam (tauhid/teologi) yang bagi saya seusia waktu itu hanya bisa pasrah mendengar dan mengikuti jalan pikirannya. Ya, KH Turaihan Adjhuri. Di lingkungan kami, ia biasa disebut dengan panggilan Mbah Tur. Kiai yang lebih dikenal sebagai ahli astronomi ini lebih menyukai kitab berat bertemakan ilmu ketauhidan, di antaranya Kitab Khasiyah ad-Dasuqi.

Bagi saya, yang masih umur tiga belas-empat belasan, meski diajarkan dengan sangat-sangat pelan dan runut, bahkan kadang hanya beberapa baris dalam sekali pengajian, penjelasannya aduhai masya Allah susahnya. Dengan muka lugu polos, dalam menyimak dan memahami, saya cuma pasrah. Sing penting barokah, nggolek ganjaran dobel wayah poso.

Untungnya, menjelang magrib, tepatnya 5.15, ditutup dan dilanjutkan dengan membuka kitab lain yang sedikit ringan, Tuhfatul Murid. Saya bisa melihat seluruh hadirin menghela napas panjang, saat kitab karya Syekh Ibrahim Albaijury ini dibuka, menutup kitab adDasyuqi yang amat memabukkan otak.

Di awal kelas 1 Aliyah, saya mencoba pengalaman keluar kota untuk ngalap berkah di pesantren pilihan.

Di Pesantren Sarang, Rembang, saya berhasil mengkhatamkan Tafsir Jalalain di bawah asuhan Mbah Khim, sebutan untuk KH Abdurrokhim (almarhum). Di seusianya yang sudah sepuh, kekuatan membaca dan menelaah kitab yang lumayan tebal ini terbilang luar biasa. Dari pagi hingga siang rehat zuhur, berlanjut sebentar setelahnya. Malam sehabis Tarawih, digeber hingga tengah malam.

Di Pesantren Ploso, Kediri, saya mengkhatamkan beberapa kitab di bawah asuhan Gus Pu' dan murid-murid beliau lainnya. Selepas dua pesantren itu, di tahun selanjutnya, saya kembali asyik di sekitaran rumah saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun