Mohon tunggu...
ilham aufa
ilham aufa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, Penulis Lepas

Masih Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepatu Guru

3 Agustus 2016   23:47 Diperbarui: 5 Agustus 2016   19:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

APA yang paling dinanti para santri saat tak ada tanda-tanda kehadiran guru? Jawabannya cuma dua : Pertama, memperpanjang jam istirahat. Atau pilihan kedua,  saatnya cabut. “Pulang sekolah”.

***

Madrasah kami tergolong lembaga pendidikan yang besar dengan ribuan santri. Madasah ini layaknya sekolah biasa yang masuk pagi dan pulang siang. Bukan pondok yang menyediakan tempat untuk tidur semisal boarding. Semuanya laki-laki! Namun sayangnya, lokasi madrasah kami tidak berlokasi di pinggir jalan.

Untuk bisa sampai di sana, harus masuk melalui gang sempit. Singkatnya, pagar madrasah kami hanyalah rumah-rumah penduduk yang mengitari bangunan.  Bahkan, di antara bangunan gedung madrasah, masih ada rumah penduduk dengan kegiatan aktivitas hariannya.

Jadi, jangan harap melihat pak bon, istilah untuk orang yang menjaga kebersihan madrasah, yang beraktivitas membuka dan menutup gerbang. Jadi, kalaupun ada santri yang terlambat datang, urusannya langsung dengan guru yang mengajar di kelasnya masing-masing. Diizinkan masuk, alhamdulillah. Tidak dizinkan pun tidak apa-apa.

Sekadar info, madrasah kami berada di tengah kota. Kebanyakan para santri berasal dari kecamatan berbeda. Ada juga yang berasal dari kabupaten sekitar.  Mereka ada yang tinggal di pondok-pondok yang tak jauh dari madrasah. Ada pula yang tiap hari naik sepeda ontel. Saat itu, kendaraan motor masih tergolong kendaraan mahal. Saya termasuk orang yang beruntung. Antara rumah dan sekolah hanya berjalan sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Di antara banyak materi pelajaran yang diajarkan di madrasah kami menuntut ilmu, pada masa itu, ada pemahaman sederhana tentang ilmu yang diajarkan: Ilmu umum dan ilmu agama. Yang pertama sering ditempeli identitas sebagai ilmu dunia. Sebaliknya, yang terakhir disebut sebagai ilmu akhirat. Entah siapa dan bagaimana mendefinisikan secara jelas dua definisi ini. Agak kabur memang, kalau tidak mau dibilang tidak jelas sama sekali.

Ketidakjelasan itu bisa jadi benar. Sebab saat dikatakan Bahasa Indonesia masuk ilmu umum, lalu kenapa ilmu Nahwu bisa masuk pelajaran ilmu agama? Toh sama-sama ilmu tentang tata bahasa. Nasibnya sama dengan ilmu Matematika yang berlawanan dengan mata pelajaran Hisab. Demikian juga Biologi, Geografi, Fisika dan sejenisnya. Sementara ilmu Falak, Balaghah dan sejenisnya menikmati posisinya di kelompok ilmu agama.

Pokoknya, selagi tidak ada bahasa Arabnya, berarti bukan ilmu agama. Titik. Tak ada pertanyaan lagi. Demikian.

Mungkin dalam pemikiran para santri, keberkahan hanya ada di mapel ilmu agama. Sementara mengikuti pelajaran ilmu umum, dibutuhkan kedalaman sikap “ikhlas”, nama lain dari ikut atau tidak ikut, tidak berpengaruh. Maka jangan heran jika saat pelajaran ilmu agama para santri hadir dengan antusias, sementara saat pelajaran ilmu umum para santri bersikap malas. Hal ini tentu agak ironi. Tapi beginilah suasana waktu itu, sekira tiga puluh tahunan yang lalu.

Sialnya, pelajaran ilmu umum, sama sekali tak pernah masuk pada pelajaran pagi. Paling banter di jam kedua selepas jam istirahat pertama. Selebihnya di jam terakhir, saat matahari sedang asik masyuk dengan panasnya., sementara mata sedang dimanja dengan lelap. Maka jadilah yang demikian menjadi waktu-waktu yang tepat menyusun segala kegiatan non akademik, termasuk di dalamnya acara yang sebenarnya tidak bisa masuk kategori acara. Lha wong acarane cuma nongkrong dan bercanda di luar kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun