Mohon tunggu...
Audy Kalangi
Audy Kalangi Mohon Tunggu... -

Lahir di Tomohon, tidak pernah di wisuda dalam urusan belajar, mengembangkan diri dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

1 Pedofilia vs 1 Kampung

21 Maret 2017   07:06 Diperbarui: 21 Maret 2017   08:26 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca perihal terungkapnya group facebook  "Official Candy's Groups" yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak, membuat hati ciut dan miris. Separah inikah kondisinya sekarang? Hanya bisa terpaku dan memikirkan masa depan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual tersebut. Bagaimana masa depan mereka, apa yang dirasakan oleh orang tua yang anaknya mengalami itu. Dimana keberadaan para tetangga dan masyarakat sekitar? Apa yang seharusnya kita kerjakan untuk mencegah atau meminimilkan resiko tersebut terjadi di komunitas.

Berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat 3581 jumlah kasus laporan  kekerasan yang terjadi pada anak-anak selama tahun 2016. Angka kekerasan yang diakibatkan oleh pengaruh teknologi ada pada urutan ketiga, yaitu 414 kasus.  Meskipun kita tahu bahwa angka yang ada itu bukan merupakan gambaran fakta di lapangan, karena biasanya ini seperti fenomena gunung es, dimana yang kelihatnnya hanya ujungnya saja, mengingat budaya malu dan tidak berani untuk mengungkapkan kasusnya ke publik bagi para penderita terutama anak-anak kecil.

Pedofilia merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yang artinya kelainan perilaku pada seseorang yaitu perilaku penyimpangan seksual , biasanya seseorang yang menderita pedofil akan menyukai anak-anak sebagai sasarannya. Ada yang mengkategorikan pedofilia sebagai sebuah penyimpangan dan ada juga yang menyebutnya sebagai kriminal. Persoalan pedofilia sebagai sebuah penyimpangan atau kriminal biarlah ahli yang menjelaskan. Yang menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah kekerasan kepada anak yang terus berulang, semakin vareatif dan dampaknya semakin luas.

UU no 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang tentang perlindungan anak, memberikan gambaran dengan jelas tentang kedudukan seorang anak dalam kehidupan dan dalam keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Karena masa depan bangsa dan negara ada dalam anak-anak, maka negara wajib memberikan perlindungan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental mapun sosialnya.

Kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak telah membrikan akibatnya yang fatal dan cukup panjang buat pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Anak-anak akan mengalami trauma, minder atau disisi yang lain akan menjadi pelaku kejahatan karena pengalaman yang dia alami. Jikalau anak-anak Indonesia sudah seperti ini maka ancamannnya bukan hanya anak itu sendiri, tapi juga menjadi ancaman buat masa depan republik ini.

Tantangan yang terjadi saat ini adalah waktu bersama antara anak dan orang tua. Permasalahan waktu bersama ini bukan hanya menjadi persoalan bagi orang tua yang berada di kota besar, tapi juga menjadi persolan bagi orang tua yang berada di desa. Berkembangnya kepemilikan ponsel pintar yang melebihi pertumbuhan penduduk, di satu sisi memberi dampak yang positif tapi disisi yang lain telah mengancam tujuan dari komunikasi antara anak-anak dan orang tua. Orang tua dan anak lebih sibuk menggunakan gadget ketika bersama dibandingkan berkomunikasi dengan menatap muka, menyentuh pundak dan memberikan perhatian penuh kepada anak.

Kita mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah khususnya polisi sebagai penegak hukum dalam mengungkapkan group facebook “officeil candy” ini. Namun ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Persoalan penegakan hukum dan penyusunan undang-undang yang memastikan anak-anak mendapat perlidungan dan dukungan menjadi bagian dari pemerintah dan DPR sebagai lembaga yang berfungsi dalam legislasi dan memonitor terhadap pelaksanaan undang-undang itu sendiri. Belajar dari negara inggris, mereka  menganggap bahwa kejahatan pedofilia adalah kejahatan yang melebihi teroris. Jadi segala sumber daya yang ada dimaksimalkan untuk mencegah dan menghukum para pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

Peran lembaga-lembaga masyarakat(civil society), pemerhati anak, psikolog, akademisi dan  lembaga-lembaga keagamaan juga tidak kalah penting dalam menyiarkan pesan-pesan spiritual yang menempatkan anak-anak sebagai pribadi yang harusnya dihargai dan menempatkan anak pada tempat yang layak dalam proses kehidupan.

Saatnya untuk mengambil peran kita masing-masing dalam melindungi anak-anak kita dari kekerasan seksual. Pemerintah, DPR dan pihak-pihak yang berkepentingan harus melihat isu anak ini sebagai isu yang strategis dan menentukan perjalanan bangsa ini kedepannya. Waktu bersama antara anak dan orang tua harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membangun hubungan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan.

Merusak anak hanya butuh satu pedofilia. Membesarkan anak, kita butuh satu kampung untuk melakukannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun