Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[LOMBAPK] Merawat Indonesia dengan Toleransi

24 Januari 2017   09:48 Diperbarui: 24 Januari 2017   10:01 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar ini adalah logo Planet Kenthir, Om/tante Admin.

Menuliskan tentang Toleransi dan Kerukunan, cukup banyak yang ingin saya bagikan. Semua sudah saya lewati. Ada baiknya, sedikit saya tuliskan, pengalaman saya bertoleransi dengan teman saya Frengky.

Waktu saya sekolah di Banda Aceh, saya punya tiga orang teman etnis tionghoa yang Buddha, salah satunya Frengky. Setiap pelajaran Agama Islam, dia selalu keluar dari kelas. Namun guru saya tak pernah menjelekkannya sehingga hubungan kami tetap baik.

Kalau di Banda Aceh sedikit yang berbeda dengan saya, di Medan cukup banyak. Saat kelas dua SMA, ketika pelajaran agama, kelasnya dipisah, Islam dan Kristen. Guru agama islam saya juga tidak pernah menjelek-jelekkan agama lain. Beliau mengajak muridnya untuk bertenggang rasa, begitupun sebaliknya. Malah teman-teman saya semasa SMA yang kristen, sangat menghormati saya.

Kebetulan saat itu saya anak baru, saya belum tahu jalan. Jadinya saya mengikuti mereka. Saat ingin makan siang, karena saya sendiri yang muslim, teman-teman yang kristen tadi, ikut makan di warung nasi padang bersama saya, padahal tak jauh ada yang jual Mie Pangsit Babi. Hal demikian juga terjadi saat saya kuliah. Saat mereka ingin makan Mie Pangsit Babi saat sedang bersama saya, saya yang mengerti. Saya berjalan-jalan sendiri sembari menunggu.

Saat itu, kami tak menyangka, perbedaan agama sangat mudah digoreng sehingga berkembang jadi isu nasional. Kami tahunya bermain, jalan, makan bersama, tapi saling menghormati.

Menjawab tantangan diri saya sendiri, suatu hari bersama seorang adik yang juga memakai jilbab, kami masuk ke pekarangan sebuah kuil. Penjaganya bingung pada awalnya. Setelah saya jelaskan maksud kedatangan saya hanya untuk melihat-lihat, saya dipersilakan masuk ke dalam. Begitu juga saat saya masuk ke Vihara. Sama, tak ada masalah. Dipersilakan berfoto juga.

Berhubung saya ini orangnya penasaran, ketika saya bekerja, demi menjawab penasaran diri saya, beberapa kali saya masuk ke gereja Katolik dan Kristen Protestan baik saat Paskah, Natal, dan Tahun Baru. Saya sendiri di lokasi tersebut yang memakai jilbab. Saya dengarkan khotbah para Pastor-Pendeta. Namun tetap, tak saya temukan penghinaan terhadap agama saya. Pernah suatu kali, berhubung saya ingin mewawancarai Bapa Uskup, dari awal hingga akhir misa pertama saya ikuti. Sebelum bertemu Bapa Uskup, saya bertemu para jemaat. Mungkin bagi orang lain adalah hal biasa. Namun bagi saya, ini akan menjadi cambuk bagi saya agar mendidik anak cucu saya untuk menghargai sesama. Mereka yang Natal, dengan penuh suka cita, mereka menyalami saya. Mungkin kalau tidak ramai orang, saya akan menangis terharu.

Setelah saya mewawancarai Bapa Uskup tentang pesan damai Natal, beliau berpesan, “Sampaikan kepada khalayak ya Putriku, kita semua bersaudara. Jangan mau diadu domba. Kita harus kuat agar kita tak gampang dipecah belah. Kita boleh berbeda dalam beribadah, tapi sesama manusia, kita wajib bertoleransi. Sampai detik ini, saya sangat menghormati Almarhum Gusdur. Tak lupa para alim ulama yang masih hidup seperti Gusmus, Bapak Quraisy Shihab, para Nahdliyin dan kaum Muhammadiyah. Saya juga tak percaya ISIS itu membela islam. Saya percaya bahwa islam maupun agama lainnya, mengajarkan kasih. Kalau tidak, kamu tak mungkin di hadapan saya, mewawancarai saya. Saya percaya, kamu ke sini bukan hanya tugas, tapi memang tulus ingin bersahabat dengan agama lain.”

Karena Bapa Uskup sendiri, kali ini saya nangis saja. Saya benar-benar terharu. “Terima Kasih Bapa sudah percaya.”

“Pasti putriku. Saya percaya islam agama yang damai. Apa istilahnya itu?” tanyanya.

“Rahmatan lil ‘alamin,” senyum saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun