Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Demi Kursi Tinggi, Terpaksa Kutelan Gengsi

22 Mei 2014   03:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semuanya sebab ingin memangku jabatan tinggi, hingga harus kuturunkan gengsi. Ya... mau bagaimana lagiNamanya demi legalnya kursi.

*

“Rakyatku yang kucintai. Kalau kalian memilihku, anak cucu kalian bisa bebas biaya pendidikan sampai ke tingkat Doktor. S3, cuy. 'Gak mau? Biaya kesehatan juga akan murah. Kalau sakit ringan, mungkin akan ada biaya khusus yang murah juga bisa gratis. Hahaha.... Bagaimana? Enak, bukan? Makanya... Kalau kalian mau fasilitas yang TOP untuk kampung kita, jangan lupa pilih aku, lho!” retorikaku saat tengah berkampanye beberapa bulan lalu. Dan hasilnya, kubuku menang. Dengan bangga, segera kudatangi mereka-meraka yang juga pesaingku, guna merapatkan barisan. Tujuannya, agar mereka memilihku untuk menjadi kepala daerah.

*

Jet pribadi mengantarku ke bukit di sebelah Barat. Lalu, kedatanganku langsung disambut ramah oleh sang pemilik pekarangan luas. “Hm.... Baiklah, beliau juga orang kaya, walaupun infotainment sering memberitakan hal-hal yang kurang enak untuknya. Eh, ehm... Namun, apa peduliku, ya? Hahahaha...” pikirku cepat.

Agendaku ke mari adalah sama, ingin semeja dengan beliau. Bahkan, aku sempat ingin menjadi wakil beliau dan sama-sama memajukan masyarkat kampung kami. Namun, tampaknya harus sedikit kutelan kekecewaan, sebab ada sedikit celah yang sulit kutembus saat banyak omongan kami. Jadi, sebagai orang kaya, akupun menolak kesepakatan itu. “Ah... Iya,aku orang kaya. Tambang emasku di mana-mana. Bagaimana mungkin aku harus mengalah?” senyumku.

Baiklah, akupun kembali dengan tangan hampa. Saat itu aku berpikir, negosiasi kami kurang mengena. Aku pun gengsi jika harus berada di bawahnya. Aku calon terhebat. Pantang menjilat. Memangnya dia siapa? Bagiku, dia adalah penjahat.
_
Lalu, kutemui perempuan itu. Memang beliau hanya seorang perempuan. Bagiku, perempuan itu adalah makhluk lemah. Aku selalu memandang sepele kepada kaum hawa. Mereka adalah makhluk yang mMereka selalu menggunakan perasaannya. Bila tampangku kelihatan layu, mereka terutama dia, akan mudah takluk dengan rayuanku yang tanpa lelah.

Kemudian, kumulai rayuanku. Taktikku sama seperti kepada orang yang punya lapangan jet itu. Segalanya kutawarkan, asal aku menjadi mitranya. Namun, betapa kecewaku, ketika sang janda menolak pinanganku. Bahkan sang janda berkata, "Biarpun aku janda, tapi aku selalu setia pada suamiku. Lagipula, harta suamiku banyak dan mencukupi perutku dan kedua putriku." Beliau juga berkata, "Pergilah kau... pergi dari hidupku. Bawalah semua hartamu. Aku ora butuh uangmu. Dari pada bercinta denganmu, lebih baik kuurusi saja diriku serta putra kebangganku.” Tanggapannya itu melukaiku.

Aku marah. Aku merasa sunggu-sungguh terhina. “Sialan, dia. Sudah tua. Masih tak tahu diri. Huh... lihat saja kau ya. Nanti, kau yang akan menyembahku.” Sinis senyumku sebelum meninggalkan kediamannya.

*

Baiklah... sepertinya memang, aku harus kembali pada sang pemilik kebun raya. Walaupun gengsiku tinggi, daripada tak memperoleh jabatan agar dapat melaju mulus ke kancah nasional, akhirnya, kuterima saja tawaran sang kaya. Beliau juga menerima tawaranku. Juga ia berjanji akan menghadiahkan sebuah posisi untukku.”Posisi yang lumayan dari pada lumanyun,” katanya bangga.

“Ah, sial!!! Dia kembali menghinaku.” Sembari tetap dilanda amarah, aku tetap ramah. Ah..., biarlah. Yang penting bagiku adalah kekuasaan, hahahaha...

Di posisi injury time, akupun bergabung bersamanya. Lagi-lagi, demi kursi. Namun, sakit hatiku ini sudah memuncak. Bagaimana bisa tak ada yang memilihku. Padahal kemarin, aku memenangkan pertarungan, apalagi dengan orang yang kujilati, kini.

*

Ini adalah pertarungan. Bagi awam, mungkin yang kulakukan dianggap bahwa aku mengalah. Padahal, tak ada yang mengetahui bagaimana perasaanku dan muka tembokku ketika harus bergelayut manja di lengan sang calon penguasa kampungku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun