Mohon tunggu...
Rengga Muslim
Rengga Muslim Mohon Tunggu... -

History Educator | Announcer of 107.7 Madani FM | Duta Bahasa Jabar | Translator | Writer | Coffee Addicted | Follow me on twitter @rengga_muslim

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Novelia: Oeroeg (Si Tipis ... yang Menyentuh)

16 September 2011   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:54 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Perbedaan Fakta dan Fiksi

Seluruh tokoh dalam roman ini adalah fiktif, namun seting sosial, waktu, adalah fakta karena merupakan hasil pengembangan dari pengalaman penulis selama tinggal di Hindia Belanda.

Talaga Hideung sebenarnya adalah Talaga warna.

Beberapa lembaga penyedia pendidikan benar adanya seperti:

HIS, MULO, AMS, HBS.

Tentang adiministateur merupakan hasil studi arsipnya, kiriman surat-suratRudolf K. saat ia menulis novel Heren Van de tie.

Masa pendudukan Jepang

Masa revolusi dan Agresi

Diskriminasi Rasial antara Belanda dan Pribumi,

Masyarakat Indonesia dibagi ke dalam tiga golongan :

1.Masyarakat Kulit Putih.

2.Masyarakat timur jauh.

3.Dan Pribumi.

E.Perbandingan dengan buku Teks:

Novel tipis yang hanya 146 lembar ini tidak memberikan keterangan faktual yang memadai jika ingin disandingkan dengan buku teks yang kaya akan konten sejarah. Namun muatan di dalamnya dapat memberikan gambaran yang dalam mengenai kondisi pada masa kolonial Hindia Belanda, seperti yang dapat kita lihat dari adat-istaidat pada saat itu dimana pribumi sangat dipadang sebelah mata,

“Selama sisi siang itu ayahku menyuruh kami ke kebun bermain-main sendiri. Oeroeg bermain dengan kami. Saat bermain bersama itulah, untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa di mata orang lain, Oeroeg ‘inlader’ – dan bukan inlader seperti Harsono Koesoema Soedjana. yang sekelas dengan kami dan ayahnya regent, namun anak desa anak orang rendahan, di perkebunan. Perbedaannya terasa pada nada sedikit memerintah ketika tamu-tamuku mengatakan  “ayo!” pada Oeroeg, Menyuruhnya bergegas.”

serta hanya orang tertentu dengan kasus tertentu yang dapat mengecap pendidikan, di sana juga digambarkan bahwa sekuat apapun usaha seorang pribumi untuk memperoleh pengakuan nasib mereka sudah ditakdirkan karena warna kulit mereka, walau mereka sepintar apapun. Seperti bagaimana ketika Oeroeg bersikap meniru gaya barat, dengan polo shirt, celana khaki, berbicara dalam bahasa Belanda, serta kecerdasannya yang tak kalah dengan orang Belanda masih disebut sebagai ‘jongos’ atau ‘babu’ oleh teman-teman seasramanya.

F.Nilai-nilai yang terkandung dalam novel:

-Warna ras bukan sebuah jastifikasi atau pengalamatan mengenai kebodohan dan ketidak beradaban pada manusia, setiap ras dan suku bangsa punya potensi yang sama untuk bisa maju dan pintar jika mendapat akses yang setara dalam hal pendidikan.

-Jangan membedakan manusia karena alasan apapun termasuk alasan rasial. seperti yang dapat kita simak dalam kutipan berikut:

“Apakah Oeroeg lebih rendah dari pada kita?” kukeluarkan unek-unekku. “apakah ia berbeda?”

“Tidak! Gila itu,” kata Gerard tenang … “Siapa yang bilang begitu?”

“Macan kumbang berbeda dari monyet,” kata Gerard setelah beberapa saat. “Tapi apakah yang satu lebih rendah dari yang lain? Bagimu ini pertanyaan bodoh dan kau benar. Pertanyaan ini sama bodohnya bila menyangkut manusia… Tetapi lebih tinggi atau lebih rendah karena warna kulit wajahmu, atau karena siapa ayahmu-itu omong kosong.”

-Tanah kelahiran tidak hanya terbatas pada dari mana tanah ayah dan ibumu berasal, tapi juga sejauh mana keterikatanmu dengan tanah itu. Tanah dimana kau lahir, belajar, dan dewasa berkenalan dengan dunia.

-Jangan melupakan masa lalu, jadilah dirimu apa adanya.

G.Relevansi novel sebagai sumber pembelajaran:

Kita dapat melakukan perbandingan novel dengan membandingkan karya Hella yang mewakili pemikiran Barat atas kolonilisme di Indonesia, serta pandangan karya Sastrawan Nasional seperti Pram, atau pun Hamka, dsb yang juga menulis novel atau cerita dengan latar pada masa kolonial. Sehingga kita dapat memperoleh gambaran yang berimbang dari dua sisi dalam menggambarkan masa kolonial serta masa-masa tumbuhnya bibit nasionalisme Indonesia dalam karya sastra.

Novel ini ditulis dengan bahasa yang mengalir dan sederhana, selain itu juga jumlah halamannya yang tidak terlalu tebal hanya 146 hal, cocok untuk pembaca pemula seperti anak-anak SMA yang biasanya sudah malas jika melihat buku yang tebal, dengan bimbingan dari guru siswa dapat dilatih untuk dapat menarik kebermaknaan dari novel serta relevansinya dalam memahami mata pelajaran sejarah terutama dalam mempelajari sejarah kolonialisme dan bangkitnya nasionalisme Indonesia karena faktor pendidikan dengan menggunakan novel ‘Oeroeg’ ini.

H.Analisis Novel

Yang kita temui dan hampir sama dalam berbagai kasus novel-novel atau pun karya ilmiah yang mengangkat tema kolonialisme, maka masalah yang kentara dan menjadi sorotan adalah konflik yang terjadi antara dua kelas, yaitu kelas penindas (Pihak kolonial) dan kelas tertindas. Bentuk-bentuk dari penindasan tak selalu berupa kegiatan fisik yang merusak jiwa, tapi juga penindasan dapat hadir dalam bentuk yang lebih halus namun berbekas dan meninggalkan jejak yang sulit untuk di hapus. Salah satu bentuk penindasan itu adalah penindasan mental. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, telah berdiri banyak kerajaan yang menciptakan hasil kebudayaan yang bisa dikatakan beradab dengan bangunan megah, karya sastra tinggi, sistem perokonomian, politik, dsb. Namun semenjak kedatangan bangsa barat dan memulai kolonialisme, ada satu hal yang terenggut dari bangsa kita yaitu hak untuk berpikir bebas, dan menciptakan karya. Kita menjadi bangsa yang didikte, dan hanya mengikuti intruksi yang diberikan negara induk. Kita juga dijauhkan dari akar peradaban, hingga akhirnya segala sesuatu terkooptasi dan dimonopoli oleh para penjajah.

Dalam novel ‘Oeroeg’, hal yang sangat kuat dan menohok sisi kemanusiaan adalah bentuk penindasan mental yang dilakukan oleh pihak kolonial dengan menurunkan nilai martabat kemanusiaan pribumi, yang menganggap mereka sebagai masyarakat rendah, tak punya daya cipta, kampungan, bodoh, dsb. Citra itu terus mengakar, dan dialamatkan pada warga pribumi yang pintar sekalipun, walau hal tersebut tidak pernah dialamtakan pada orang-orang pribumi dari kelas bangsawan atau keluarga raja. Hal seperti itu tentunya tidak dapat terlihat secara kasat mata jika dibanding dengan alam modern sekarang, dimana masyarakat kita telah beranjak ke masyarakat yang egaliter.

Jika kita menggunakan pendekatan sosiologi sastra maka kita dapat mengamati pola-pola interaksi serta hasil-hasil dari berbagai bentuk dinamika sosial mulai dari interaksi antara individu, kelompok, labih lanjut mengenai stratifikasi dan diferensiasi sosial, dan yang menarik tentunya konflik-klonflik sosial yang muncul dalam novel tersebut.

Bentuk interaksi yang coba ditunjukkan dalam novel Oeroeg ini adalah bentuk interaksi antar pribumi dan penjajah (Belanda). Interaksi yang timbul tidak selalu baik namum merupakan sebuah bentuk penyesuaian-penyesuaian yang terjadi sehingga membentuk karakter yang membentuk semacam oposisi biner antara kelas ordinat (Belanda) yang membentuk pandangan rendah terhadap kelas subordinat (pribumi).

Namun novel ini secara tidak langsung menunjukkan sisi lain dari masyarakat kolonial terutama orang Belanda (tokoh Aku) yang menjadi sosok “hero”, dimana penggambaran tokoh aku dalam novel akan mengarahkan pikiran kita jika tidak semua penjajah itu jahat, dan tidak semua penjajah itu diskriminatif, sebagian dari mereka yang lahir dan tumbuh di tanah pribumi tentu mengalami suatu proses keterikatan dengan tanah kelahirannya ‘Hindia Belanda’ dibandingkan dengan tanah asalnya Belanda, mereka pun memiliki satu rasa mencintai yang mungkin sekarang kita dapat mengatakannya sebagai nasionalisme.

Seperti yang penulis nyatakan mengenai penggunaan Judul ‘Oeroeg’ walau pada awalnya ia tidak pernah memiliki presedensi tersendiri dan hanya merupakan kata yang melintas begitu saja dalam pikirinnya, namun setelah dia mengkaji lebih dalam tentang pengalaman alam bawah sadarnya dia akhirnya menyadari jika konsep Oeroeg dalam bahasa sunda artinya longsor atau terpisah dapat diartikan secara filosofistik, novel ‘Oeroeg’ menceritakan keterpisahan si ‘Aku’ dengan tanah kelahirannya, karena Hella pernah menetap di Sumedang daerah yang dijadikan sebagai latartempat dari novelnya.

Maka, terlihat jika si penulis novel ini mengajak pembaca untuk melihat pihak Belanda dengan sisi yang positif, walau kebanyakan pada prakteknya aksesibilitas seorang pribumi untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan orang Belanda selain bagi anak pribumi merupakan hal yang mustahil. Dalam novel tersebut diceritakan jika tokoh Oeroeg saat dewasa seasrama dengan orang-orang Belanda dan kaum priyayi ningrat di Jakarta, dimana Oeroeg tak lebih dari pembantu atau anak bawahan dari Administrateur (ayah dari tokoh aku).

Posisi yang tak seimbang ini menimbulkan konflik-konfik baik sosial maupun yang bersifat psikologis, Seperti dapat kita contohkan gejala kaum pribumi yang mimikri, atau menjadi seolah keabrat-baratan agar bisa memperoleh supremasi atau perasaan setara dengan orang Eropa. Ini diceritakan sikap Oeroeg yang berubah setelah ia masuk usia remaja, setelah ia daisuh oleh seorang suster Belanda, dan didik secara Belanda, ia tak mau lagi bersikap seperti primbumi ia memakai pakayan Belanda (Polo Shirt dan celana Khaki) berbicara dengan bahasa Belanda, dan tidak pernah lagi berkunjung ke kampung halamannya. Namun tetap realitas tak dapat menerima perubahan Oeroeg, lingkungan disekitarnya tak lebih memandangnya sebagai orang pribumi rendahan, bahkan teman-teman si ‘Aku’ menyebutnya sebagai ‘Jongos’ (Pembantu). Di asrama ia tak punya teman selain aku, dan ini juga yang mendorong dia untuk akhirnya berubah dan membenci pihak kolonial termasuk kepada sahabat kecilnya sendiri ‘Aku’.

Novel ini juga dapat dikatakan mengkritik pola kehidupan masyarakat pada masa kolonial dimana pada saat itu rasisme berlangsung sangat keji merendahkan nilaikan kemanusiaan seseorang hanya dinilai dari ras keturunannya. Padahal ras dalam antropologi bukanlah sebuah bentuk dari stratifikasi sosial, melainkan diferensiasi sosial, yang memudahkan dalam hal pengelompokan keanekaragaman manusia. Sistem sosial masyarakat kolonial membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan ras, seperti Golongan pertama adalah orang Belanda dan Eropa, kedua Golongan bangsawa pribumi. Ketiga Timur Asing (Cina dan Arab), dan terakhir adalah rakyat pribumi yang disebut dengan inlander. Karena novel ini ditulis oleh orang Belanda yang pernah mengalami pengalam hidup pada periode waktu yang digambarkan dalam novel, hal ini menjadikan cerita ‘Oeroeg’ ini dapat dikatakan sebagai Memise atau tiruan dari realita zaman kolonial, walau tokoh-tokoh dalam novel sepenuhnya fiktif belaka.

Namun dari penggambaran penulis tentang kawasan-kawasan Hindia Belanda secara tidak langsung telah menarik realitas zaman kedalam novel, sehingga novel itu terasa lebih mengena dan membawa atmosfir kehidupan dari masa kolonial.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun