Mohon tunggu...
BULAN SEPOTONG
BULAN SEPOTONG Mohon Tunggu... Administrasi - BULAN SEPOTONG

Malam tak pernah dusta pada pagi, karena pagi selalu menepati janji.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya dan Anak Saya: Episode Tujuh yang Istimewa

30 Maret 2013   11:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:00 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karena tuntutan profesi, dengan sangat terpaksa hari ini kami pindah rumah. Pindah rumah untuk keluarga kami memang hal yang biasa, karena di mana saya ditugaskan kantor, di daerah itu pula biasanya kami boyongan.

Kali ini kami meyewa sebuah rumah di komplek perumahan yang sederhana dan agak sembunyi dari keramaian. Tadinya ketiga anak saya tidak setuju dengan pilihan saya, terutama si sulung yang tukang protes itu.

Lagi-lagi saya harus memutar otak untuk “menjual” pilihan saya kenapa saya memilih rumah itu. Kalau dilihat dari sudut keperaktisan, memang kurang peraktis rumah sewa baru saya ini. Dari jalan raya jaraknya lebih dari satu kilo meter. Udah gitu rumah ini langsung berhadapan dengan sawah yang kurang terurus karena sebenarnya itu bukan sawah, tapi semacam lahan tidur milik pengembang yang dimanfaatkan untuk bersawah oleh penduduk sekitar. Jauh dari kesan rapih dan asri layaknya sawah-sawah di pedesaan.Jalan depan rumah: aspal yang mengelupas sehingga kerikilnya menonjol yang membuat kita meringis kalau lewat tanpa alas kaki.

Nah, dimulai dari situ:

Saya coba menjual kelebihan rumah ini. Aku berkata pada mereka bahwa ini keunikannya, kita bisa melakukan “refleksi” kaki kapan pun kita mau. Cukup jalan-jalan di aspal bopeng itu kita sudah mendapatkan kesehatan.

Dan yang ini, coba lihat alamatnya: Jl. Zaitun No. 7, RT.007/RW 07. Bukan main: Tujuh, sebuah angka yang paling istimewa menurut saya. Bagaimana tidak, mari kita urutkan: Bahwa langit itu diciptakan oleh Allah sebanyak Tujuh Lapis Langit. Bumi juga demikian. Hari dibuat oleh Yang Maha Kuasa sebanyak Tujuh Hari. Manusia sebelum lahir, dalam bulanke Tujuh, biasanya (dalam adat jawa) keluarga sang jabang bayi akan melakukan kenduri Tujuh Bulanan. Coba hitung anggota badan kita waktu sujud dalam sholat, berapa yang menyentuh tanah sebagai rasa pasrah diri kita kepada Allah: Kening, Dua telapak tangan, dua lutut, dua ujung jari kaki dan dahi. Tujuh ...!

Wah, benar-benar istimewa angka tujuh itu. Belum lagi kalau dikait-kaitkan dengan bahasa kita sehari-hari, jika orang mengatakan orang itu kaya sekali, maka dia akan mengatakan: Kekayaannya tak habis Tujuh turunan. Kalau menyebut bau yang sangat tidak sedap, biasanya juga akan mengatakan: Baunya Tujuh rupa, dan lain-lain.

“Jadi kita beruntung nak, bisa menempati rumah yang syarat makna ini. NO. 7, RT 7, RW 7.... ! Se 7.... ?”

Tanpa perlawanan yang berarti, akhirnya si sulung mengangkat bendera putih.Kami serempak tertawa ....

“Ah, Bapak bisa aja.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun