Mohon tunggu...
akhmad taufiq hariyadi
akhmad taufiq hariyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Majulah Indonesiaku

Aku adalah manusia biasa seperti yang lain. Tetapi aku terus berpikir, merasa & bertindak sehingga sampailah aku pada kata-kata "Inilah aku". Aku punya kesalahan, kelemahan, kekurangan bahkan keburukan, begitupun yang lain. Tetapi aku punya sesuatu yang menjadi kelebihan & ciri khasku, begitupun yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Majulah Indonesiaku, Memetakan Segala yang Ada (Part 2)

26 April 2018   07:37 Diperbarui: 26 April 2018   09:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belum lama ini setelah selesai membuat 'bagian pembuka' untuk menyapa para pembaca lewat tulisan yang berjudul "Menyapa Dunia", rasanya dalam hati ini masih timbul gejolak kerinduan untuk menulis kembali. Kadangkala rasa itu seperti rasa ketika jatuh cinta pada seseorang yang kita idam-idamkan. Ibarat kata, hal itu seperti: cinta pada seseorang yang mengerti apa yang kita mau, seseorang yang selalu mendukung apapun yang kita lakukan, seseorang yang selalu ada untuk kita, seseorang yang tidak pernah menolak apapun yang kita minta atau jika semuanya itu diringkaskan, seperti seseorang yang ketika berinteraksi dengannya bagaikan sedang bercermin dan ngomong pada diri sendiri.

Jika ibarat-ibarat yang telah disebutkan sebelumnya dihadapkan pada kenyataan, rasanya hampir mustahil atau bahkan mustahil untuk menemukan seseorang yang seperti itu. Karena di dunia ini, segala sesuatu meskipun kembar secara identik, tetap saja masing-masing memiliki keunikan tersendiri, yang mana hal tersebut menjadi identitas atau pengenal untuk membedakannya dari yang lain.

Pada akhirnya, seseorang yang sama persis dengan ibarat tersebut adalah diri kita sendiri. Bagaimana tidak, siapa lagi yang mengerti diri sendiri kecuali kita sendiri? Siapa lagi yang ketika kita bercermin, dapat meniru persis apapun yang kita lakukan, kalau bukan diri kita sendiri? Hal ini nampaknya sepele dan bahkan hal ini bisa menjadi bahan tertawaan karena hal ini adalah hal mendasar yang semua orang sudah tahu seperti itu adanya.

Tapi maksud penulis bukan pada persoalan A = A, atau segala sesuatu itu identik atau sama persis dengan dirinya sendiri. Tetapi ketika seorang manusia adalah unik atau tiada duanya, maka bagaimanakah caranya orang tersebut mengenali dirinya? Karena kebanyakan orang akan meniru atau memiliki tokoh yang menjadi panutannya, lalu jika dia meniru tokoh tersebut, maka di manakah dirinya? Jika dituliskan secara matematis maka sebenarnya kebanyakan orang memiliki pola seperti ini: A = A'. Atau dengan kata lain, kebanyakan orang cenderung meniru atau mengikuti sosok yang menjadi panutannya.

Dari pembahasan sebelumnya, ada sedikit percabangan bahasan. Sehingga dapat menimbulkan kebingungan kepada para pembaca. Oleh karena itu penulis sederhanakan alur pikir pada paragraf sebelumnya bahwa untuk memulai menapaki jalan pemikiran bagaimana mengenal diri maka perlu diuraikan lebih lanjut tentang pernyataan: 1)seseorang yang sama persis dengan diri kita adalah diri kita sendiri dan 2)kita cenderung meniru orang yang menjadi panutan kita.

Paragraf sebelumnya sengaja dibiarkan seperti itu agar para pembaca bisa mengikuti proses perbincangan dan perenungan batin saat menyelami dan mengenali diri sendiri.

Sebelum masuk ke pembahasan, penulis ingin menceritakan kisah ketika penulis berada di awal-awal perjalanan pencarian jati diri yang berkaitan dengan pernyataan no:1. Saat di usia remaja yang kental dengan tingginya ego diri serta wawasan yang didasarkan pada kemauan diri maka pemikiran yang ada pada saat itu terwakilkan dalam kata-kata: aku adalah aku dan aku berbeda dengan yang lain.

Kata-kata tersebut bagi sebagian orang dan bahkan kebanyakan orang memiliki kesan yang kontroversi, tapi tiada niat penulis saat itu kecuali hanya untuk menunjukkan bahwa penulis tidak suka diatur dan tidak suka dibandingkan atau disamakan dengan yang lain.

Seiring berjalannya waktu, tingginya ego diri mulai terkikis dengan kedewasaan dan kematangan berpikir. Di dalam perjalanan, penulis mulai berpikir tentang pepatah yang mengatakan bahwa musuh terkuat adalah diri sendiri, serta ungkapan terkenal yang mengatakan bahwa peperangan paling dasyat, masih belum seberapa dibanding dengan peperangan melawan diri sendiri.

Pergulatan menaklukkan diri sendiri adalah pencapaian paling sulit yang dilakukan oleh seluruh umat manusia. Bahkan meskipun manusia sudah mencapai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling tinggi sekalipun untuk menaklukkan alam semesta, maka menaklukkan diri sendiri akan tetap menjadi usaha yang sangat sulit.

Hal ini karena usaha untuk menaklukkan diri harus didukung dengan usaha mengenal diri. Sedangkan jalan untuk mengenal diri memiliki banyak lika liku dan rintangan yang sangat banyak. Contoh paling mudah adalah kita akan sangat sulit dan bahkan mustahil untuk melihat wajah kita sendiri tanpa menggunakan cermin. Padahal melihat wajah sendiri merupakan sebagian dari pengenalan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun