Ramadan sering kali diidentikkan dengan momentum penyucian diri, baik secara fisik maupun spiritual. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa bulan suci ini juga bisa menjadi momen untuk "menyucikan" bumi dari sampah? Ya, Ramadan tidak hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa mengurangi jejak sampah yang kita hasilkan. Inilah yang kita sebut sebagai "diet sampah"---sebuah konsep yang tidak hanya baik untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan.
Apa itu "Diet Sampah"?
Istilah "diet sampah" sebenarnya bukanlah istilah resmi atau akademis yang berasal dari satu sumber tertentu, melainkan lebih merupakan konsep yang berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran akan masalah lingkungan, khususnya terkait sampah dan limbah. Istilah ini sering digunakan secara informal dalam konteks kampanye lingkungan, gaya hidup minim sampah (zero waste), atau gerakan sadar lingkungan untuk menggambarkan upaya mengurangi produksi sampah dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep ini memiliki akar yang kuat dalam gerakan zero waste yang dipopulerkan oleh aktivis lingkungan seperti Bea Johnson melalui bukunya Zero Waste Home (2013). Bea memperkenalkan prinsip 5R (Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, Rot) sebagai panduan untuk mengurangi sampah. Istilah "diet sampah" bisa dilihat sebagai adaptasi dari prinsip-prinsip ini, dengan fokus pada "mengurangi" (reduce) sebagai langkah utama. Selain itu, istilah ini juga muncul dalam berbagai kampanye lingkungan oleh organisasi seperti Greenpeace dan WWF, serta semakin populer berkat media sosial dan influencer lingkungan yang menggunakan tagar seperti #DietSampah atau #ZeroWasteLifestyle.
Ramadan dan Lonjakan Sampah
Selama Ramadan, produksi sampah cenderung meningkat secara signifikan. Menurut studi yang dilakukan oleh Waste Management and Recycling Association of Malaysia (2019), volume sampah di negara-negara dengan mayoritas Muslim meningkat hingga 20% selama bulan Ramadan. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan konsumsi berlebihan saat berbuka puasa dan sahur, serta penggunaan kemasan sekali pakai yang masif.
Di Indonesia, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sampah plastik meningkat sekitar 15-20% selama Ramadan, terutama dari kemasan makanan dan minuman (KLHK, 2021).
Fenomena ini ironis, mengingat Ramadan seharusnya menjadi bulan di mana kita belajar untuk hidup sederhana dan penuh kesadaran. Alih-alih mengurangi, kita justru menambah beban bumi dengan sampah yang menumpuk. Lalu, bagaimana kita bisa mengubah pola ini?
Diet Sampah: Menyederhanakan Hidup, Menyelamatkan Bumi
Diet sampah bukan sekadar tentang mengurangi jumlah sampah, tetapi juga tentang mengubah pola pikir dan kebiasaan kita. Ini adalah bentuk ibadah yang sering kali terlupakan---ibadah horisontal terhadap bumi, yang juga merupakan ciptaan Tuhan. Dalam Islam, konsep khalifah (penjaga bumi) mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menjaga dan merawat alam. Dengan demikian, diet sampah bisa dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual kita.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Cleaner Production (Avdi et al., 2020) menyebutkan bahwa perubahan perilaku sederhana, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memilih bahan makanan lokal, dapat mengurangi jejak karbon hingga 30%. Bayangkan jika setiap Muslim di dunia menerapkan hal ini selama Ramadan---dampaknya akan luar biasa!