Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Money

Peran Petani dalam Agribisnis

6 Juli 2011   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1309919570215927351

Oleh : Atep Afia Hidayat - Bagi sebagian petani agribisnis masih merupakan istilah asing, padahal petani itu sendiri sebenarnya merupakan bagian dari sistem agribisnis, petani dengan usaha taninya berada di sektor primer. Hal tersebut sejalan dengan pendapat David Downey dan Steven P. Erickson, pakar ekonomi pertanian dari Amerika Serikat, yang membagi agribisnis ke dalam lima sektor, yaitu :

  1. Sektor input (input supply sectors), yang meliputi pupuk, benih, insektisida, bahan bakar, mesin dan peralatan lainnya.
  2. Sektor primer (farm production sectors), merupakan sentral dari agribisnis, meliputi petani, peternak dan nelayan.
  3. Sektor sekunder (output sectors), berperan mengubah bahan baku menjadi bahan jadi (agroindustri).
  4. Sektor tersier (market farm product), berfungsi mengantarkan produk sektor primer dan sekunder ke tangan konsumen.

Dari keempat sehtor dalam sistem agribisnis tersebut, tampak jelas bahwa posisi petani sangat strategis, namun kenapa justru kemampuan menawarkan relatif rendah dan nilai tambah usahanya paling kecil. Partisipasi dan kontribusi petani terhadap agribisnis sangat besar, terlebih untuk komoditi pangan. Lemahnya posisi terutama disebabkan pemilihan modal yang kecil, penggunaan teknologi yang rendah, pemilikan lahan yang sempit, produk yang cepat rusak, ancaman iklim seperti banjir dan kekeringan, gangguan hama dan penyakit tanaman, serta akses yang sangat kecil terhadap sumberdana dan informasi. Semua hal itu merupakan ciri umum sebagian besar petani yang ada di Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Dalam mata rantai agribisnis risiko paling tinggi dipikul oleh petani, maka tak heran jika sentuhan perbankan untuk memperkuat permodalan petani sangat kecil. Bagaimanapun bank cenderung mencari mitra usaha yang tidak berisiko tinggi, dengan demikina sektor input, sekunder dan tersier (sarana produksi,, agroindustri dan pemasaran) hampir selalu mendapat prioritas penyaluran kredit. Tak banyak bank yang mau dan mampu bekerjasama dengan sektor primer, kecuali yang skala usahanya besar seperti perkebunan BUMN atau milik swasta nasional. Kucuran kredit perbankan untuk petani hanyalah berupa tetes-tetes kecil, itupun dengan persyaratan yang berat. Akses sebagian besar petani terhadap sumber dana sangat kecil, bagaimana prosedur pengurusan kredit yang benar pun belum dipahaminya. Seringkali petani jatuh dalam cengkeraman bank gelap dan pengijon. Dengan demikian sudah selayaknya kredit investasi kecil mampu menjangkau petani dengan skala usaha yang paling kecil. Untuk mengurangi risiko, pihak perbankan hendaknya tidak hanya berperan dalam penyaluran kredit semata, namun juga bertindak sebagai pusat informasi agribisnis, paling tidak dapat memberikan rekomendasi mengenai prospek suatu komoditi yang layak dibudidayakan petani. Untuk usaha tani yang lebih besar, perbankan bisa berperan sebagai agro management conselling, agro management assistance, agro project development, dan agro management control. Beberapa bank telah menjalankan fungsi tersebut. Idealnya langkah tersebut dikembangkan dengan jangkauan yang lebih luas. Beberapa program yang pernah ada seperti perkebunan inti rakyat (PIR) hendaknya esensinya bisa menjangkau kepentingan petani. Akses petani terhadap informasi pun sangat rendah, kalaupun ada penyuluhan lapangan, siaran pedesaan (RRI-TVRI), koran masuk desa, dan sumber informasi lainnya, namun kecenderungan petani untuk terbelenggu dengan suatu komoditi masih sangat kuat. Kenyataan sebagian besar usaha tani dijalankan belum begitu berorientasi pada laba, hanya berupaya mempertahankan hidup dan menghindari kelaparan. Menurut M. Dawam Rahardjo (1992), produksi pangan memang telah meningkatkan pendapatan nominal petani, namun ternyata potensi pendapatan yang diterima petani ditekan dari dua jurusan, yaitu : 1. Dari ongkos produksi, di mana untuk meningkatkan produksi fisik, petani harus membayar ongkos yang lebih tinggi guna membeli pupuk dan pestisida. Sekalipun penerimaan petani meningkat, tetapi harus dikurangi dengan ongkos produksi yang lebih tinggi. 2. Dari harga jual, mungkin pula petani menerima "subsidi harga", karena Buloq memberikan harga dasar yang melindungi pendapatan petani. Tetapi Bulog juga berfungsi menekan harga agar jangan melampui pagu harga, walaupun hal itu dilakukan dengan operasi pasar, bukan penetapan harga tertinggi Petani produsen sebenarnya tidak sepenuhnya menikmati kebijaksanaan pangan pemerintah. Tak heran jika laba yang diperoleh petani relatif kecil, apalagi petani dengan lahan yang sempit. Yang memperoleh keuntungan paling besar justru pedagang beras, di mana menurut M. Dawam Rahardjo "subsidi harga itu akhirnya diterima pedagang beras". Usaha tani tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, peternakan atau perikanan, sebagian besar dilakukan oleh petani kecil. Luas perkebunan rakyat bisa berlipat jika dibandingkan dengan perkebunan BUMN atau swasta nasional. Jika unit usaha BUMN atau swasta nasional jumlahnya hanya ratusan atau seribuan, maka unit usaha petani kecil bisa mencapai belasan juta. Hal itu pula yang menyulitkan terwujudnya keterkaitan usaha yang harmonis dengan sektor agribisnis lainnya, baik input, sekunder atau tersier. Untuk menjembetaninya berbagai institusi seperti koperasi, LSM, perguruan tinggi, diharapkan lebih banyak berperan aktif. Bagaimanapun partisipasi petani dalam agribisnis harus seimbang dengan nilai tambah yang didapatkannya. Jika posisi petani dalam agribisnis menguat, dengan sendirinya tingkat pendapatan dan kesejahteraannya meningkat. Jika hal itu terjadi, maka dampaknya terhadap perekoniman nasional bakal positif, bagaimanapun petani merupakan mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia. Jika daya belinya menguat, maka pertumbuhan sektor industri pun makin terpacu, sebab kenyatannya konsumen terbesar berbagai produk industri tak lain petani. Ada sementara pihak yang mengusulkan agar sektor sekunder dari agribisnis, yaitu agroindustri ditampilkan sebagai leading sector dalam pembangunan, salah satu sasarannya ialah agar nilai tambah yang diperoleh petani meningkat. Untuk mewujudkan hal itu, terlebih dahulu kondisi petani sebagai sumberdaya manusia (SDM) agribisnis perlu dibenahi, pengenalan terhadap Iptek pertanian layak ditumbuh-kembangkan, serta akses terhadap sumber dana dan infromasi terus ditingkatkan. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun