Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Obat Tradisional Bukan Sekedar Alternatif

9 November 2010   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:45 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Prinsip hidup kembali ke alam kini makin banyak diterapkan, termasuk dalam hal pengobatan atau dalam upaya menjaga kesehatan. Di sisi lainnya pengobatan modern dengan menggunakan obat berbahan aktif senyawa kimia bisa menimbulkan efek samping. Selain itu, harga obat-obatan tersebut oleh sebagian masyarakat dirasakan makin mahal.

Sejak krisis moneter tahun 1997 yang lalu, harga obat-obatan kimia yang sebagian besar berbahan baku asal impor, rata-rata mengalami kenaikan 400 persen. Meskipun kondisi saat ini nilai rupiah makin menguat, namun tampaknya harga obat-obatan kimia yang terlanjur tinggi sulit untuk mengalami penurunan. Dengan demikian obat-obatan berbahan baku tanaman obat atau obat tradisional akan menjadi pilihan yang manarik.

Impor Bahan Baku

Tanaman obat telah dimanfaatkan sebagai bahan baku jamu, sediaan ekstrak terstandar dan sediaan fitofarmaka. Tiga segmen obat tradisional tersebut dalam satu decade terakhir pemanfaatannya terus meningkat. Namun kalau ditelaah melalui wacana agrobisnis ternyata manfaat positif perkembangan obat tradisional baru dirasakan oleh sebagian kecil orang. Saat ini volume ekspor obat tradisional sekitar 1 juta kg, dengan nilai melampaui 9 juta dollar AS. Di dalam obat tradisional yang diekspor komponen bahan baku yang diimpor masih tinggi. Pelaku ekspor obat tradisional tersebut hanya beberapa perusahaan yang tergolong besar, sebagian di antaranya industri farmasi nasional terkemuka.

Sebagian simplisia (bahan alam yang telah dikeringkan berupa tanaman utuh, daun, buah, batang, akar dan ekstrak tanaman untuk bahan obat) masih diimpor dari luar negeri. Hal itu disebabkan kualitas sebagian bahan baku yang dihasilkan petani tanaman obat di Indonesia belum memenuhi standar mutu industri fitofarmaka. Dengan demikian, devisa yang diperoleh dari ekspor obat tradisional masih harus dikurangi oleh devisa yang dikeluarkan untuk impor bahan baku.

Padahal kalau dikembangkan secara serius dengan membentuk sinergi berbagai potensi seperti agroklimat dan plasma nuftah; petani, peneliti dan industriawan; serta pasar dalam dan luar negeri, maka prospek agribisnis tanaman obat akan terus membaik. Selain kebutuhan industri jamu dan fitofarmaka dalam negeri yang terus meningkat, permintaan pasar dunia terhadap bahan baku obat pun cenderung meningkat. Sebagai contoh, menurut catatan Tabloid Bisnis “Kontan” (Desember 2000), permintaan dunia untuk jahe mencapai 30 ribu ton per tahun, cabe jawa 600 ribu ton per tahun. Selain itu, Cina memerlukan kapulaga 400 ton per bulan.

Perlu Sinergi

Berdasarkan potensi agroklimat dan plasma nuftah yang dimiliki, sebenarnya Indonesia layak menjadi negara produsen obat-obatan berbahan baku tanaman obat terbesar di dunia. Memproduksi bahan baku sebenarnya bukan merupakan persoalan yang sulit, selain tersedia lahan yang masih luas, Indonesia pun memiliki petani terbanyak di dunia. Mengenai aspek budidaya sampai pasca panen teknologinya sudah dimiliki. Meskipun pengembangan Iptek obat tradisional masih tertinggal dengan apa yang sudah dikembangkan negara-negara industri maju.

Kendala utama dalam pengembangan tanaman obat ialah permintaan lebih cepat dari produksi, harga komoditas dalam negeri tidak merangsang petani untuk berproduksi, harga input mengalami kenaikan, kredit terbatas, dan insentif petani sangat rendah. Di sisi lainnya komunikasi antara pusat penelitian dan pengembangan (Balitro, BPTP, universitas/institut) dengan petani atau pelaku agribisnis kurang intensif.

Tak kurang dari Menteri Pertanian, Bungaran Saragih, menyatakan bahwa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) diimbau mengintensifkan sinergi dengan pengusaha agribisnis (termasuk petani, pen) guna mengaplikasikan paket teknologi yang dihasilkan lembaga tersebut. BPTP memiliki peluang cukup besar guna memenuhi kebutuhan sarana produksi pertanian serta peralatan pasca panen sesuai potensi agribisnis di setiap daerah (Bisnis Indonesia, 5 Juni 2003).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun