Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat Cinta untuk Sasa dari Ibu Fatmawati

31 Oktober 2020   14:19 Diperbarui: 31 Oktober 2020   14:33 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manado.tribunnews.com

Untukmu Sayang: Sasa.

Apakah Sasa masih mengingatku? Ada harap demikian. Semoga.

Maaf soal kemarin di surat yang pertama. Aku terlalu naif dalam kata-kata. Bukan karena benci, Sayang. Bukan. Aku peduli padamu.

Sasa. Kamu tahu tidak? Orasi Pancasalahmu? Aku kaget sekali. Kamu pandai merangkai kata-kata indah ke dalam lima sila. Maaf. Ke dalam lima salah dari coretan luka hatimu. Aku semakin cemburu pada permainan kata-katamu.

Sasa. Aku cemburu bukan karena banyak orang saat ini mencintaimu. Aku tersaingi? Sangat. Pria-pria dari kaum terhormat bertepuk tangan. Mereka melayangkan pujian untukmu. Suara mereka tercatat di lembaran media. Menyuarakan litani membelamu.

Aku pikir suaramu tak muncul saat pria-pria pengagum itu bersuara. Pancasalahmu bagiku sangat benar. Engkau melantunkan litani dosa yang terbungkus rapi di negeri ini. Aku bangga padamu yang mengeraskan suara dari orang-orang kecil.

Sasa. Engkau tidak hanya berhati mulia. Tutur katamu menunjukkan sebuah sikap yang hilang dari negeri ini. Sikap kerendahan hati untuk tetap menghormati Pancasila. Dengan rendah hati engkau menyucikan Pancasila dari lima salah yang dihidupi para penindas Indonesia.

Kali ini aku harus hormat padamu. 'Kan kumainkan sebuah gitar tanpa kata dan petikan. Pasti engkau heran dan bertanya, dimana lagunya?

Sasa. Setiap kali menyanyikan lagu ini hatiku menangis. Jantungku bergetar. Nadiku sesak. Air mata menumpuk lalu jatuh. Tolong. Jangan minta aku menyanyikannya untukmu.

Sasa. Siapakah aku ini sampai engkau ingin mendengar suaraku? Gunakan telingamu untuk mendengar rintih suara hatiku. Tatap mataku agar engkau bisa masuk dalam kegelisahanku.

Sasa. Jika engkau mau aku akan bersaing dengan pria-pria yang mendekatimu. Jangan gegabah sayang. Sabar. Nurani 'kan bicara tatkala mulut dibuat bisu. Mereka datang hanya ingin numpang sebentar. Setelah itu hilang tak berjejak.

Oh ya Sasa. Titip salam dari Ibu Fatmawati. Dia memberi ini untukmu. Sekotak bahan untuk menjahit. Ada jarum, benang berwarna merah dan putih. Katanya, khusus untuk Sasa agar benang-benang ini menjadi secarik kain merah putih.

Sasa. Sebenarnya aku malu mengatakan ini padamu. Ibu Fatmawati paham sekali bahasa tubuh yang engkau kenakan. Dia bilang turunkan rokok dan microfon di tanganmu. Masukan mereka dalam kejernian berpikirmu.

Sasa sayang. Microfon dan rokok itu sebuah instrumen tanpa kata namun mengalirkan banyak makna. Ibu Fatmawati tidak melarangmu berorasi. Jahitkan benang merah dan putih di tanganmu untuknya. Kain merah dan putih itu lebih elegan jika engkau kenakan saat menyuarakan Pancasila.

Sasa. Aku paham sekarang. Engkau menyuarakan pancasalah dengan microfon dan rokok bukan tanpa maksud. Microfon agar suara keadilan terdengar dimana-mana. Rokok supaya asapnya mengganggu napas para pembunuh keadilan.

Sasa. I am proud of you. Jadilah Fatmawati yang menjahit keberanian dan kesucian di hati anak-anak bangsa. Gitar ini untukmu. 'Kan kunyanyikan lagu kebanggaanku, "Kulihat Ibu Pertiwi".

"Kulihat Ibu pertiwi sedang bersusah hati air matanya berlinang emas intannya terkenang...."

Sasa. Kuharap engkau meneruskan nyanyianku yang telah diwakili oleh air mata. Biarlah engkau tahu banyak rasa untuk negeri Ibu Pertiwi ini. Aku menangis saat Ibu Kita merintih dalam senyap oleh sikap anaknya sendiri.

Salam, jiwa Merah Putih dariku untukmu.
Jarum dan benang di tanganmu itu,

Bendera Kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun