Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggil Saya Cacat

1 Juli 2019   14:51 Diperbarui: 1 Juli 2019   14:57 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Whens Tebay (PAPUANSPHOTO | Karya Anak Papuan)

Udara semakin dingin. Sang jago mulai berkokok. Nyanyian burung terdengar indah. Bunyi sungai terus bergemuruh. Langkah kaki pemuja alam mulai terdengar. Mereka berpacu dengan mentari berharap burung tak menyantap biji padi. Beberapa mama menumbuk ubi. Terdengar bunyi alu bergantian.

"Selamat pagi bumi cendrawasihku. Selamat pagi leluhur nenek moyangku. Selamat pagi cinta dan sayangku," doaku dalam hati.

Selepas bersyukur pada Tuhan, leluhur dan alam, aku menuju jendela kamar. Matahari pagi terlihat indah di ufuk timur. Dari sana aku menatap jauh bapa dan mama yang berjalan menuju kebun mereka. Aku cemburu pada mereka. Tak ada yang mereka persoalkan dalam hidup. Bentuk fisik mereka sempurna. Mereka bebas bergaul dengan siapapun.

Udara di kampung sangat dingin. Masih hutan dan asri. Suara burung terus bernyanyi menyambut sang mentari. Air terjun di kampungku terus memanggil anak-anak bermain air. Terdengar indah suara tawa mereka di sela desiran air. Mereka menyanyikan lagu kesayanganku saat melompat mengikuti arus air. Aku bernyanyi dalam hati bersama mereka.

"Jika aku tak seperti ini mungkin aku bisa bermain bersama mereka. Tuhan apa yang terjadi dengan diriku? Apakah Engkau membenciku? Aku tidak mau mencari jawaban dari semua pertanyaan ini. Ini hanya serial pertanyaan yang ada dalam benakku," protesku dalam hati.

Aku memilih untuk tidak protes terhadap hidup. Dengan langkah pasti aku kembali membaringkan badan di atas kasur tua buatan mama. Batinku mulai tenang saat kepalaku jatuh pada bantal yang selalu menerima air mata ini. Tak sengaja aku menatap sebuah foto di atas meja samping tempat tidur. Senyum indah darinya menguatkanku. Aku merasa sempurna ketika berada di sampingnya.

Juan Fonataba, seorang yang selalu mengerti akan kehidupanku. Dia selalu menemani hari-hari hidupku. Aku merasa satu dengan dirinya. Setiap cerita hidupnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupku. Kata-katanya mewakili kata hatiku. Aku kuat saat dia mengelap air mataku. Dia adalah diriku yang lain.

Aku mengambil foto itu. Kenangan masa lalu menghampiri diriku. Teringat di benakku pergelaran festival foto Papua. Kami memenangkan foto versi terbaik Papua saat itu. Kebahagiaanku bukan soal memenangkan festival dan mendapat hadiah. Berada di dekatnyalah kebahagiaanku semakin disempurnakan. Dia seorang yang mampu menatap wajahku di kala banyak mata yang tak mau memandang wajah ini.

"Juan, kamu di mana? Aku rindu padamu. Kembalilah mengisi hari-hariku dengan canda tawamu," kataku dalam derai air mata.

Hampir satu jam aku meletakkan foto ini di dada. Ada harapan semoga Tuhan mendengar kegelisahanku. Aku butuh dia untuk mendengar kisah hidup ini. Alam Papua sudah banyak mendengar potongan rasa ini. Namun, aku merasa ada yang kurang. Alam mampu mendengar namun tak mampu memahami hati ini. Cendrawasih mampu menghiburku dengan nyanyian namun tak mampu memahami gejolak rasa ini.

Aku tertidur dalam kerinduan. Menanti mimpi jadi kenyataan. Satu harapku, Juan hadir dan mendengar kisah hidupku lagi. Aku rindu melihat wajah bahagiaku kembali. Hanya dirinya seorang yang kuharapkan saat ini. Bumi Papua dan segala isi telah kehabisan cara untuk menghibur aku. Aku malu pada mereka yang selalu peduli dengan diri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun