Mohon tunggu...
Aten Dhey
Aten Dhey Mohon Tunggu... Penulis - Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Penikmat kopi buatan Mama di ujung senja Waelengga. Dari aroma kopi aku ingin memberi keharuman bagi sesama dengan membagikan tulisan dalam semangat literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melukis Senyum Khatulistiwa

19 Januari 2019   01:13 Diperbarui: 19 Januari 2019   02:00 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunyi seruling tua terdengar di pelosok jiwa. Jeritan daun kering menikam telinga. Retakan tanah tandus menindas jejak. Bunyi jangkrik mencekik keheningan. Gelap malam meludahi tubuh. Angin syahdu melambaikan sindiran. Embun menguasai ubun-ubun. Awan merias kegelisahan. Kilat menjilati langit. Jangan menangis kawan, aku sedang melukis senyum khatulistiwa.

Kulit hitam membungkus tulang. Rambut keriting mahkota kepala. Gigi kuning cahaya emas. Telapak berduri harta dicuri. Dada telanjang diterjang wabah. Suara tangis terdengar mengoyak cinta. Watak keras sekokoh karang. Bumi tersingkap membentang penderitaan. Jangan menangis kawan, aku sedang melukis senyum katulistiwa.

Otak kosong terlihat bolong. Mulut manis memikat hati. Keris di belakang kematian di depan. Malu menatap menitip amarah. Bisu terdengar gosip berbisik. Kuat bersama lemah sendiri. Mulai bersama selesai sendiri. Makan sedikit makin banyak menambah. Simak mendengar malas bertindak. Jangan menangis kawan, aku sedang melukis senyum khatulistiwa.

Kuantitas terbaik kualitas terbalik. Minoritas tersingkir mayoritas terjungkir. Gempa menggempar ditampar hingga terkapar. Laut bergelombang tumbang dan menebang.  Tanah longsor menyasar pesisir sampai tersungkur. Keyakinan tak berkenan ada perbedaan. Ribuan kemiskinan dipermainkan tidak main-main. Martabat dibabat hingga tamat. Janji disaji tak teruji ujung-ujung di jeruji. Jangan menangis kawan, aku sedang melukis senyum khatulistiwa.

Kawan bantu aku melukis senyum khatulistiwa. Aku tak mampu memegang kuas sendirian. Kanvas putih hampir hitam. Cat merah dan putih tak kelihatan. Aku takut imajinasiku disuap dengan sebiji nasi. Jemari tangan terasa kakuh karena dipalu oleh dia pemalu yang tak tahu malu. Aku berdiri di atas pertiwi yang tak lagi percaya diri. Ibu pertiwi menaruh mimpi aku bisa melukis senyum khatulistiwa. Aku mau berjibaku merias senyum khatulistiwa. Jangan menangis kawan, aku sedang melukis senyum khatulistiwa.

Puisi Berikutnya: 'Tatapan Gadis Pesantren'

Yogyakarta, 19 Januari -  01.13

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun