Mohon tunggu...
Ngah aroel
Ngah aroel Mohon Tunggu... Penulis - Sastrawan

Pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halaman Kosong

6 Februari 2022   14:13 Diperbarui: 6 Februari 2022   14:22 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Kali ini bukan perusahaan media cetak yang memintaku untuk menulis cerita pendek yang akan dimuat di halaman rubrik sastra surat kabar itu, namun dari seseorang produser film pendek yang telah mengubungi lewat telpon seluler siang tadi.

Permintaanya kuturuti sebab tawaran imbalan honor yang menggiurkan. Paling tidak dari uang itu nanti bisa lah kubelikan sekarung beras sepuluh kilo untuk stok makanan di rumah ini. Pikiriku saat itu. Katanya cerita pendek yang akan kutulis akan di konversikan menjadi film pendek yang akan diupload di chanel youtube miliknya. Ia pun memintaku untuk menuliskan cerita tentang kehidupan gadis remaja yang putus sekolah akibat kenakalannya dan menjadi sukses berkat dorongan seorang kekasih yang taat dalam beribadah. Sebuah kisah yang biasa biasa saja, namun mengandung pesan amanat pembelajaran hidup yang tinggi.

"Tapi kalau tak sempat menulis cerita itu, cerita lain pun juga tak apa apa," sambung permintaanya dengan santai.

"Baik, kalau cerita seperti itu yang ia minta sangatlah mudah bagiku untuk menulisnya" ucapku meyakinkan diri.

Aku menunggu malam, dari siang menyusun kata kata dan kalimat di dalam hati. Di jalan sambil mengendarai kendaraan, pikiranku mencoba menyatukan alur plot cerita dari paragraf satu hingga paragraf selanjutnya untuk kutulis malam nanti. Memikirkan ide cerita tidak lah mudah. Namun, kalau cerita yang diajukan, paling tidak sedikit memudahkanku dalam mengarangnya.

Langit sudah menghitam kelam. Sebelum menulis, kusiapkan secangkir kopi dan tembakau kemas sebagai temen dikala mencari imajinasi cerita. Selepas salat isya, komputer jinjit mulai dihidupkan dan aku siap memulai tulisan ini. Tiga puluh Delapan menit sudah memikirkan kata kata namun belum juga ketika itu dimulai. Masih bermain dengan diksi sembari menjalin kalimat kalimat hingga otak kian jenuh.

Mungkin sudah tak mampu lagi untuk menulis kata kata. Seakan huruf huruf itu berkucah keraguan. Atau mungkin huruf huruf itu sedang membenci dan pergi dari pikiran. Sudah beberapa jam pula aku hanya menatap halaman kosong malam ini. Padahal hati ingin menulis tentang cinta, tentang kasih, tentang masa masa indah, tentang kerinduan seroang pemuda alim yang teramat melekat pada seorang gadis remaja. Ah, bingung hendak memulai dari mana, sebab kisah ini hampir mirip dengan kisahku bersamamu yang terlalu banyak untuk diceritakan. Rasanya, kalau dituangkan dalam kertas kitab, butuh ratusan tahun untuk menyelesaikan tulisan cerita kita.

Halaman kosong menatapku heran, sesekali ia berbisik, menatap tajam dan menjambak rambut dengan kuat untuk aku kembali menulis di tubuhnya yang putih nan bersih.  "Apa yang kau pikirkan? Tak biasanya kau seperti ini". Sanggahnya padaku dengan nada yang geram. Terpaku telengong wajah ini menunduk lesu. Semakin banyak ia berkata, semakin itu pula aku terpaku menatap halaman kosong yang hanya ditemani kursor yang hilang timbul dari layar monitor laptop yang sedikit berkabut akibat umur. Halaman kosong itu terus menghantui pikiran. Bersemayam di salah satu bagian otak seakan tak mau pergi sebelum tertulis sebuah kata di dalamnya. Mengucah serak serat serat sel benda lemak di dalam tempurung kepala.

Berdiri sejenak, kutinggalkan beberapa langkah dari meja tulis itu. Laptop itu pun masih dalam keadaan hidup terlentang. Layar monitornya mengadah angkuh ke atas. Namun kubiarkan ia dengan kesombongannya. Lalu aku mengambil sebatang rokok yang sudah disiapkan di meja dekat pintu rumah. Rokok itu sudah tak banyak lagi, hanya tinggal beberapa batang di dalam kotak yang sudah penyek sisa dari pagi tadi. Duduk sejenak di kursi yang menghadap ke luar rumah berusaha untuk menenangkan pikiran setelah berkecamuk dengan halaman kosong. Sebatang lidi korek api kunyalakan, mengeluarkan api sedikit berasap diletak dengan dengan ujung hidung yang hendak membakar sebatang rokok yang sudah diselitkan di hujung bibir. Dengan perlahan dihisap hingga mengeluarkan asap yang tipis seakan hanya uap gas dan lama kelamaan asapnya mulai menebal kabut seiring pikiranku semakin kusut. Memoriku bercerita panjang lebar di dalam kumpulan asap tebal putih menumpuk. Seakan dinding putih yang di tembak sinar proyektor infokus yang memutar film film penuh warna dan ceria. Mencoba mengubah tema cerita tentang nasibku yang dahulu pernah meminta rokok kepada sahabat namun ia lebih membuangnya ke dalam parit ketimbang memberiku dan sejenak kami tertawa riang. Katanya, rokok itu tak baik untukku waktu infus terpasang di punggung tangan pada ruangan  rumah sakit umum. Ah, itu hanya membantu kesembuhan derita sakit.

Ingin pula kuceritakan kisah sahabat sahabat itu melalui sebuah kisah. Sekadar mengenang masa lalu Di mana menghabiskan waktu hingga larut tengah malam bersama sama di atas pipa milik PT. Pertamina perusahan milik negara di komplek perumahan Bukit Datuk. Mengenang akan hal itu, aku segera berlari menuju laptop dan duduk lebur diri di dalam kisah, namun yang kulihat hanya halaman kosong lalu kukembali berdiam diri menatapnya. Tak satupun huruf di papan keyboard itu kutekan. Jemari tangan kanan hanya mampu memutar mutar mouse Komputer berwarna hitam pekat. Sebab dalam pikiran, aku tak sanggup menceritakan tentang kisah sahabat yang sudah dahulu di panggil Ilahi tepat di depan mata  malam itu akibat kecelakaan yang dialami ketika memacu kendaraan berharap hadiah besar secara illegal. Tempat itu memang terkenal dengan dengan lokasi yang ditakuti para pembalap liar. Sebenarnya aku juga tidak terlalu suka dengan yang namanya balapan motor apalagi balapan liar, dikarenakan persahabatan kami sangat dekat aku harus memberinya support atas tindakan perjuangannya namun Tuhan berkata lain dan tangisku pecah malam itu mengiring mayatnya dibawa ke rumah sakit umum lalu di bawa ke ruang jenazah menunggu pihak keluarga menjemputnya.

Ahhh... Otak mulai buntu. Rokok dan kopi tak sanggup memberikan semangat untuk merangkai kata kata. Padahal sebelumnya telah memiliki ide cerita hendak menulis kisah cinta seorang kawan lama yang gagal di persandingan akibat berkhianati di kepulauan Riau. Sayang, padahal pelaminannya sudah terpasang dengan rapi serta indah, penuh pernak-pernik warna-warni yang menghiasi pelaminan melayu tersebut. Namun hajatan tak jadi digelar sebab percintaan mereka tak direstui dari sebelah pihak dan ia mati di tangan calon mertua yang sakit hati oleh tingkahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun