Mohon tunggu...
atanera de gonsi
atanera de gonsi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lagi OTW Cari Nafkah

28 Desember 2022   23:41 Diperbarui: 28 Desember 2022   23:49 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Oleh Sirilus Gonsi

Malam barusan pamit. Hari subuh. Alam seperti baru bangun dari tidurnya. Di jalan kendaraan sudah berbunyi riuh.  Aku barusan bangun dari tidurku.  Dari kamar tidur, aku ke luar rumah. Di bagian depan rumah mungil itu, bunga-bunga indah tertata rapi. Bunga-bunga itu tertanam pada pot bunga berwarna hitam. Aku pandang ke langit. Di atas atap dapur asap mengepul  membentuk awan berterbang menuju cakrawala.
"Sudah bangun kak? Tanya Icha, membuatku kaget dari lamunanku yang terarah menuju masa depan. Aku mengangguk, kemudian ia kembali ke dapur, sambil sedikit toleh ke arahku. Ah! Lirikannya tajam. Lirikannya lansung menuju jantungku. Lirikannya membuatku gugup dalam degup.
"Minum kopi kak". Icha menawarkan minuman. Aku masuk ke dalam rumah. Di meja tamu telah disediakan minuman kopi. Ada tiga gelas kopi. Meja tersebut dikelilingi empat buah kursi plastik warna biru. Aku mengambil posisi duduk menghadap ke dapur.
"Minum sudah kak!" Icha mengajakku minum kopi.  Dia duduk di sampingku, di posisi bagian kiri. Dia duduk menyandar, memakai celana pendek. Ujung celananya  di atas lutut.  Kakinya menjulur lepas berpijak pada tumpuan bagian bawah meja.  Kulit paha dan betisnya halus mulus.  Ada bulu-bulu kecil tumbuh di betisnya. Betisnya padat berisi, bagai bulir padi.  Tangan kirinya memegang handphone. Ia senyum sendiri, kemudian melirik ke arahku. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang pasti senyumnya tertuju padaku.
Mentari pagi sudah bersinar. Bias cahayanya sampai pada meja tamu, tempat kami minum kopi. Icha berdiri menyalakan TV.  Kami minum kopi sambil menonton berita-berita aktual seputar Indonesia yang dihadirkan Kompas TV.
"Cha, sebentar ke Pasar beli sayur. Aku ada pasien banyak di Kantor". Suara kakaknya Icha. Ia mengambil posisi duduk di hadapanku.  Dia duduk menyandar pada kursinya. Kakinya agak terbuka tertumpu pada lantai. Ia memakai celana pendek. Tangan kanannya langsung memegang gelas kopi., kemudian diteguknya kopi. Wajahnya mirip Icha. Cantik. Putih, bersih. Rambutnya sebahu. Hidung mancungnya bergantungan pada wajah cantik miliknya.
"Kak, sebelum pulang boleh tidak antar aku ke kantor"? Kakaknya Icha memintaku tuk mengantarnya ke kantor.  Aku mengangguk pelan tanda setuju. Kemudian aku ambil gelas kopi. Kuteguk kopi segelas sambil merokok.
Pagi cerah. Tampak kesibukkan orang-orang kota super premium Labuan Bajo. Bunyi oto, motor, tape, teriakan, sahut menyahut adalah bunyian yang kurang bagus untuk didengarkan. Bising. Ada bunyi peluit om polisi.   Di lampu merah seorang polisi berdiri di tengah, sambil memberi aba-aba petunjuk arah, sebab listrik padam, dan lampu lalu lintas tidak menyala.  Aku berjalan lurus menuju arah laut bagian Barat. Di jalan ada banyak motor dan oto, bemo, bis yang sibuk dengan rutinitasnya. Di Trotoar banyak pejalan laki. Ada anak sekolah berbaju seragam.  Kota super premium sibuk dengan rutinitas biasanya.
Motor melaju pasti  dan pelan. Udara yang gerah mulai hadir menampar wajahku.
"Belok kanan kak". Suara kakaknya Icha.  Reting kanan ku tekan. Motor melaju menuju arah kanan. Ada gedung berlantai warna putih tertulis rumah sakit SILOAM.
"Oh ya kak, tolong balik rumah, antarkan Icha ke pasar. Ini uang bayar ojeknya. Kata kakanya Icha. Aku mengangguk. Pikiranku tentang Icha mulai kambuh. Senyumannya mulai terbayang. Sorot matanya yang meruntuhkan rasa cintaku terkenang.  Warna giginya yang putih ikut terbayang. Hangatnya pelukan semalam masih terasa. Wangi parfumnya juga  masih tercium di hidung.
"Ojek!" Seorang pria memanggil. Hidungnya mancung. Paparnya menyatu bersama kumis dan jenggot. Kulit hitam.
"Ke mana om?  Aku bertanya.
"Ke Pasar", jawabnya.
Tanpa berpikir lama aku mengantarnya.
"Gigi satu tekan tahan, gigi dua tekan pelan, gigi tiga kau tinggal tancap gas". Demikian seuntaian syair lagu yang dihadirkan bemo kota. Irama lagu tersebut adalah sebuah perintah dan petunjuk. Aku ikuti dan praktikkan. Kamipun melaju, dan tak terasa sampai di Pasar.
Aku kembali menemui Icha di rumah kakaknya. Saat aku sampai rumah, rumah tertutup. Kuketuk pintunya. Terdengar sahutan dari dalam rumah. Suaranya merdu.  Icha membuka pintu rumah. Rambutnya basah. Wangi sabun mandi dari tubuhnya.  Sepertinya ia barusan selesai mandi. Kembali seuntaian senyum ia suguhkan padaku.  Senyumannya hanya sekilas, namun kenangan tentangnya membekas abadi.
"Kita langsung jalan kak Ethan!" Icha langsung mengajak menuju Pasar. Ku starter revo milikku. Icha sudah  duduk di belakangku. Tangannya memelukku.  Hari siang berarak bersama angin siang yang memberi gerah. Panasnya terik matahari terasa. Selesai berbelanja Icha mengajakku minum es krim. Kami menuju tempat yang ada jual es krimnya.
Pertemananku dengan Icha sudah dibangun. intensitasnya mulai nampak. Pertemanan kami tidak sedingin es krim.  Pertemanan kami mencair.
"Kakak langsung pulang sebentat ka?" Icha bertanya padaku yang sedang diam dalam lamunan. Aku mengangguk.
"Ini nomor hanphoneku. Disave ya". Icha memberi nomor handphonenya. Aku mencatat nomornya.
"Kalau pulang sebentar hati-hati. Jangan ngebut ya?" Katanya lagi. Aku mengangguk, kemudian bersahut, yang ngebut itu, rasaku padamu.
"Apa!"sahut Icha. Suaranya meninggi.
"Rasa senang dek Icha. Senang bersamamu, kurang lebih sehari semalam.' Aku menjawabnya. Ia tersipu malu, atau mungkin juga ikut merasa, entah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun