Esok harinya aku berbohong pada ibuku saat disuruh pergi ke sanggar lagi. Kubilang aku merasa kurang enak badan, libur sehari ya bu?, ibu setuju. Lusanya, aku berbohong lagi dengan mengatakan bahwa ada tugas kelompok yang harus kuselesaikan siang ini juga, ibu setuju lagi. Hari ketiga, aku tak dapat berbohong lagi. Ibu tidak mengizinkanku bolos lagi. Ia bertanya mengapa aku tidak ingin pergi ke sanggar lagi. Aku terdiam. Tak dapat memberi jawaban. Aku mengarang alasan, mengatakan bahwa aku bosan ikut sanggar tari dan ingin ikut drumband di sekolah saja. Ibu tak percaya. Aku hampir frustasi mencari alasan hingga akhirnya ibu mengiyakan. Aku resmi berhenti dari sanggar tari tiga hari setelah kejadian itu. Tentu aku harus menerima resikonya, ibu marah dengan mendiamkanku selama beberapa hari ke depan. Tapi setidaknya, dengan berhenti aku tak perlu lagi mendengar makian untuk yang kedua, ketiga, keempat kalinya lagi. Cukup sekali, itu sudah cukup untuk membuatku semakin memasang tembok besar dengan dunia seni.
Hingga detik ini, usiaku delapan belas tahun. Sudah sembilan tahun berlalu, hanya aku dan Tuhanku yang tau alasan sebenarnya aku berhenti ikut sanggar. Dulu, aku takut jika aku jujur, akulah yang akan disalahkan. AKu takut disalahkan karena memiliki kemampuan yang tidak sama dengan teman sanggar yang lain. Aku yang disalahkan karena aku terlalu terbawa perasaan, hanya dimarahi sekali langsung berhenti. Aku takut, tidak ada seorangpun yang akan berdiri di sisiku. Tanpa kusadari, hal semacam ini terbawa hingga aku yang 'kecil' sudah berusia delapan belas tahun.Â
Bagaimana hubunganmu dengan dunia seni, khususnya seni tari?
Hubunganku dengan seni apalagi seni tari tidak bisa disebut baik. Aku tidak bisa menggambar, melukis, bernyanyi, menari, menjadi pemeran drama, sungguh aku tak bisa melakukan hal-hal itu dengan baik, apalagi sempurna. Namun, aku paling takut dengan seni tari semenjak hari itu. Saat sekolah, jika ada pelajaran tari, aku akan menjadi panik sendiri. Dihantui rasa takut, takut gagal, takut dicemooh orang, takut aku mempermalukan rekan satu timku. Mungkinkah itu adalah perasaan aku yang 'kecil' dulu yang melekat hingga kini? Atau inikah trauma? Entahlah, akupun tak mengerti hingga kini.
Dulu, aku pernah menyalahkan ibuku yang tidak memberiku kesempatan memilih, tidak mengajakku berdiskusi atas apa yang akan kujalani, tidak mendengarkan pendapatku, tidak memberiku alasan logis yang membuatnya tidak bisa menerima pendapatku. AKu tak terima. Hingga kini, keputusan sepihak itu masih sering terjadi. Tentu aku merasa ada sisi dalam diriku yang tak dapat menerima kenyataan ini, bahwa suaraku jarang didengar. Namun, aku berusaha melihat dari sisi lain. Aku tau, mereka hanya ingin yang terbaik untukku. Semoga begitu...
Jika aku gagal melakukan apa yang diminta oleh orang-orang yang kusayang, setidaknya aku sudah mencoba apa yang mereka inginkan. Aku sudah berusaha untuk tidak mengecewakan siapapun. Lain halnya, jika aku tidak menuruti sejak awal, jika aku gagal dengan pilihanku sendiri, aku akan mengecewakan banyak orang yang menaruh harap padaku. Tak apa, cukup diriku saja yang menerima kecewanya.
Tulisan ini bukan suatu bentuk protes, bukan untuk meminta validasi, bukan untuk menyalahkan sepihak. Tulisan ini adalah ekspresi dari perasaanku sembilan tahun lalu yang tak sengaja naik ke permukaan lagi. Hal-hal positif dan negatif dalam dirimu saat ini, boleh jadi adalah hasil dari apa yang kamu alami saat kecil dulu. Melekat dan terus terbawa kemana saja. Jadi, di hidup yang hanya sekali ini, apakah kau akan terus membawa luka itu di sisimu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI