Mohon tunggu...
Asyera Dhina
Asyera Dhina Mohon Tunggu... Karyawan Bank -

Just ordinary girl and bank officer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini yang Harus Dilakukan bagi Para Korban Kekerasan

18 Desember 2016   18:58 Diperbarui: 26 Desember 2016   09:55 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Sumber Gambar dari Website Radio Kharysma FM

Berbicara tentang kekerasan pada Perempuan dan Anak mengingatkan saya tentang yang terjadi pada kakak perempuan saya. Kejadian itu terjadi Februari 2014 lalu, saat kakak dan 6 keponakan datang ke rumah setiap hari Minggu. Saat saya bercanda dengan keponakan saya di kamar, tiba-tiba keponakan ketiga yang berusia 6 tahun bercerita sesuatu yang membuat saya terkejut. " Tante, beberapa hari lalu mama berantem dengan papa. Kepala mama dijambak, terus dijedorin ke tembok. Handphone mama juga dibanting sampai rusak". Kemudian adiknya yang kecil menimpali, "Iya, kepala mama sampai luka."

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan saya sebagai perempuan dan juga adik melihat kakak saya diperlakukan hal seperti itu oleh suaminya. Entah diluar permasalahan keluar, seharusnya pertengkaran tidaklah harus disertai dengan perlakuan fisik terutama kepada seorang perempuan yang sudah menemaninya di dalam keluarga. Pantas beberapa hari saat saya menghubungi kakak namun tidak tersambung. Ketika saya tanyakan, kakak hanya menjawab handphone rusak gara-gara tidak sengaja terjatuh. Saya sadar kakak berusaha menyembunyikan permasalahan keluarganya dan kekerasan yang terjadi pada dirinya agar kami sekeluarga tidak cemas dan ikut emosi dalam permasalahan mereka.

Belajar dari pengalaman kakak saya, akhirnya saya menyadari mengapa kekerasan pada perempuan dan anak sangat sering kita temukan di kehidupan sehari-hari atau mungkin pembaca kompasiana juga menjadi korban dari kekerasan tersebut. Tidak heran bila data yang dimuat dari Komisi Nasional Perempuan yang disajikan dalam kompasiana mencatat adanya 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2015 atau bila dirata-ratakan terjadi sekitar 881 kasus setiap harinya. Saya juga membandingkan data tersebut dengan data Komnas Perempuan dimana diketahui bahwa dari 321.752 kasus tersebut ternyata 305.535 termasuk dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (data detail dapat diklik disini). 

Saya mengamati dari kasus yang terjadi pada kakak saya maupun orang-orang disekitar saya yang juga mengalami hal serupa. Ternyata ada beberapa pemikiran yang menurut saya keliru dan terlanjut tertanam di masyarakat saat ini. Pemikiran keliru ini yang memberikan andil besar mengapa susahnya mengurangi tindak kekerasan dalam rumah tangga. Berikut hasil pengamatan saya yang menjadi renungan bagi kita semua.

Lebih Baik Disimpan Sebagai Rahasia Pribadi

Ini yang saya lihat pada diri kakak saya ataupun para korban kekerasan. Pemikiran bahwa jangan sampai orang lain tahu permasalahan yang kita hadapi justru menjadikan mereka tidak terlepas dari "obyek" kekerasan. Paradigma bahwa kekerasan yang menimpa dirinya seakan menjadi "aib" yang jangan sampai orang lain tahu. Pemikiran ini justru membuat saya kesal karena bagaimana kekerasan bisa diakhiri bila mereka seakan mengganggap dirinya sebagai "hero" yang kebal terhadap segala kekerasan fisik yang diterima atau seakan memiliki hati sangat mulia untuk segera melupakan apa yang telah terjadi. Patut digarisbawahi bahwa manusia tetaplah manusia yang memiliki keterbatasan dan harga diri yang harus dijaga khususnya bagi kaum perempuan.

Ancaman Lebih Menakutkan Dibandingkan Bertemu Harimau

Seringkali pelaku kekerasan baik yang terjadi di rumah tangga ataupun di lingkungan sekitar selalu disertakan ancaman untuk tidak melapor, menceritakan ke orang lain atau jangan melawan. Bukanlah hal berlebihan bila saya mengasumsikan bahwa ancaman pelaku kekerasan lebih menakutkan dibandingkan bertemu harimau. Bila bertemu harimau, kita masih bisa berlari atau mengambil sesuatu untuk melindungi diri sedangkan ancaman membuat kita pasrah terhadap apa yang diterima tanpa tahu apa yang harus dilakukan. 

Entah kenapa saya ikut tersulut emosi jika membaca artikel berita istri dipukul babak belur, anak perempuan dilecehkan oleh ayahnya, anak dipukul oleh temannya, seorang perempuan dipukul pacarnya dan mereka hanya bisa diam hingga orang lain menyadarinya sendiri. Inilah yang harus segera dirubah oleh korban kekerasan, memang ada istilah "Diam itu Emas" namun harusnya mereka menjadikan istilah itu dalam konteks yang berbeda. 

Bila para korban selalu diam dengan menerima kekerasan yang mereka terima, sadarkah mereka perlakukan kekerasan fisik dapat mengancam keselamatan mereka dan justru dengan memendam seorang diri dapat memicu orang menjadi gila atau bahkan depresi tingkat berat. Harusnya mereka berserah diri hingga Tuhan sendiri yang memberikan hukuman kepada pelaku. Saya sebagai wanita sekaligus orang yang masih percaya agama tidak akan berdiam diri karena saya teringat seseorang berkata, sayangilah dirimu sendiri. Setiap jengkal dalam tubuhmu adalah karunia Tuhan dan jangan sampai orang lain merusaknya karena kesengajaan.

Melapor berarti Siap untuk Ditinggalkan

Pemikiran ini seakan mengisyaratkan istri takut ditinggal oleh suami, atau seorang kekasih takut ditinggal pacarnya bila dirinya menceritakan tentang kekerasan yang dialaminya. Ingatlah bahwa justru terkadang dengan melapor berarti ada pihak lain yang akan mengingatkan akan pentingnya melindungi orang lain, dengan melapor tidak menutup kemungkinan membuat sang pelaku menyadari kesalahannya dan mau berubah. 

Saat ini banyak pihak yang dapat kita ceritakan tentang permasalahan yang kita hadapi sebut saja keluarga, aparat hukum, tokoh masyarakat, pemimpin agama, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perempuan atau lembaga lainnya yang dianggap mampu menjadi penengah dan pelindung bagi korban kekerasan. Rubahlah ketakutan diri untuk tidak melapor bila terjadi kekerasan karena sejatinya justru bila kita sayang dan ingin pelaku berubah, hal ini lah yang harus dilakukan segera. Bila masih ada tanggapan takut ditinggal oleh pasangan, percayalah di dunia ini masih banyak orang baik yang dipilih Tuhan untuk menjaga kita.

Saya pun mulai berpikir apa yang dapat berikan untuk membantu mengurangi tindakan kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak-anak. Ketika saya bercerita dengan teman saya tentang apa yang dialami kakak saya dan keinginan saya. Terlintas saya ingin memberikan pelatihan beladiri kepada anak-anak dan perempuan disekitar saya. Pemikiran ini muncul ketika teman saya bercerita pernah membantu memberikan pelatihan beladiri sederhana sewaktu kuliah. Tujuannya agar para Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja diluar negeri setidaknya dapat melakukan pembelaan diri bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Wajar mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual hingga kekerasan fisik yang dilakukan oleh majikan selama bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun