Mohon tunggu...
Asyari Amir
Asyari Amir Mohon Tunggu... Jurnalis - Asyari maran

Buruh Tani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bhinneka yang Utopis

25 Januari 2021   14:37 Diperbarui: 25 Januari 2021   15:07 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah pernyataan Gorila dan Kadal Gurun dilontarkan kepada tokoh Hak Asasi Manusia keturunan Papua Natalius Pagai oleh pemilik akun facebook Ambroncius Nababan seakan membuktikan bahwa Indonesia dengan kebinekaannya, ternyata masih saja ada tindakan rasisme terhadap masyarakatnya. Tindakan ini juga menambah catatan tindakan rasisme terhadap masyarakat Papua.

Rasisme terhadap masyarakat Papua antara Agustus-September 2019 juga terjadi di Surabaya dan Malang. Penyerangan terhadap mahasiswa Papua di kediamannya Asrama Papua sembari menyerukan ucapan rasis "Monyet". Peristiwa tersubut memicu kemarahan mahasiswa Papua sehingga terjadi demonstrasi di kota Malang dan Surabaya.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua juga demikian kompleks. Amnesty internasional menemukan setidaknya 95 kasus warga Papua meninggal ditangan aparat keamanan antara Januari 2010-Mei 2020.

Kita mendambakan Indonesia yang berbineka. Yang Papua bisa jadi walikota di Solo, orang Jawa bisa jadi walikota di Papua, seperti yang dituturkan Hasto Kristiyanto Sekertaris Jendral PDIP. Tetapi Papua tetap jadi Papua, hidup di kelopak mata, ada tapi tak dipandang.

Natalius pagai mengungkapkan kemarahan kepada pemerintah yang bertindak rasis. Ia berkomentar tentang susunan 34 menteri yang semuanya tidak satupun berasal dari Papua. Jelas bahwa keseimbangan demokrasi patut dipertanyakan. Padahal ideal suatu pemerintahan secara demokrasi ketika semua golongan dilibatkan di dalamnya, sehingga kepentingan setiap golongan terakomodir.
kompleksitas pelanggaran HAM serta tindakan rasisme sebenarnya menjadi jalan mulus bagi masyarakat Papua berlalu melepaskan diri dari NKRI. 

Secara psikologi, setiap manusia akan berusaha mengindar dari suatu kelompok yang secara terang mendiskriminasinya. Demikian sehingga tidak salah ketika masyarakat Papua menginginkan segera menanggalkan kemerdekaannya. Mendemonstrasikan Bineka Tunggal Ika, Papua Juga Indonesia, bagi sebagian besar masyarakat Papua termasuk tindakan menghianati bangsa sendiri (bangsa Papua). Karena bagi mereka saat ini yang didapatkan adalah kebinekaan Utopis.

Padahal coba kita melirik ke belakang! Sukarno dalam 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' memandang Papua sebagai bagian dari tubuh Indonesia. "Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan? Apakah seseorang tidak akan berteriak kesakitan, apabila ujung jarinya dipotong?" tegas Bung Karno.

Begitulah Sukarno bagaimana menempatkan Papua sebagai bagian terpenting di Indonesia. Indonesia tidak akan utuh tanpa Papua di dalamnya. Untuk itu, dia tak tanggung-tanggung dalam memperjuangkan perebutan Papua dari tangan Hindia Belanda. Sebagai bangsa yang besar patutnya kita menghargai perjuangan Founding Fathers kita.

Bagi saya, kemerdekaan bangsa Papua adalah hak. Jika kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan rasisme terhadap masyarakat Papua masih terbengkalai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun