Mohon tunggu...
Asyari Amir
Asyari Amir Mohon Tunggu... Jurnalis - Asyari maran

Buruh Tani

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Victory Loving

23 Januari 2021   10:31 Diperbarui: 23 Januari 2021   10:34 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bedengan Malang, dok. pribadi

Kekuasaan adalah martabat seseorang yang dengan segala upaya harus dimenangkan. Definisi itu hadir atas refleksi dari reaksi realitas pemangku kekuasaan yang enggan merelakan kekuasaan yang dilekatkan padanya.

Hitung saja berapa banyak politisi yang akan menggempur habis lawannya. Mulai dari pencitraan berkedok menistakan lawan politiknya. Menjunjung tokoh-tokoh masyarakat maupun tokoh agama juga masih seksi terhidang di beranda demokrasi. Semua itu tidak lata diperbincangkan oleh public, hal itu bermaksud untuk melegitimasi dukungan dari jemaat tokoh agama maupun tokoh masyarakat.

Semua yang dilakukan tentunya benar dalam kacamata demokrasi, tapi perlu kita ketahui sekarang ini secara normatif demokrasi hanya seperangkat alat politik yang hilang kesakralannya. Ijab kabul antara tokoh agama, adat dan masyarakat dengan politisi lebih serius dari dua pasangan muda yang lama tak jumpa, yang sekali berjumpa dipanggung pelaminan dihadapkan penghulu.

Seorang politisi yang berfilsafat, yang mencintai kebijaksanaan, dia akan berfikir tentang kekecewaan, keraguan, kepercayaan yang tenggelam dalam dendam masyarakatnya.

Setelah itu dia akan memutuskan untuk tetap berkuasa atau harus berpuasa. Namun berbeda dengan politisi Victory - Loving (pecinta kemenangan) dia berdiri gagah diatas panggung ketenaran tertua-tertuanya atau koleganya dan lupa ada dendam di atas janji yang belum dia tunaikan. Agenda ini hanya dilakukan oleh politisi yang kurang literasi tentang filosofi demokrasi.

Sampai dekade ini demokrasi merupakan sistem pemerintahan pada kasta tertinggi paling diminati negara-negara di dunia. Salah satu ajarannya adalah mengajarkan kita untuk cinta terhadap tanah air (Nasionalisme). Mencintai tanah air adalah kewajiban yang pada setiap anak bangsa tidak ada pengecualian. Berbeda dengan mencintai kekuasaan yang bersifat opsional, take it or leave it. Meninggalkan adalah cara berbakti pada tanah air dalam bentuk yang paling sederhana. Jika bertahan hanya mengukir kebohongan serta mengikis kemanusiaan.

Banyak dari kita yang mengagungkan cinta kepada perikemanusiaan, namun tak sedikit dari kita yang mengeksploitasi manusia yang lain, terlalu jauh kita bicara persoalan human tragfickinglah, mempekerjakan orang-orang tanpa bayaranlah, atau kejahatan eksploitatif lainnya pada koridor kejahatan kemanusiaan. Setiap saat kita lakukan secara sadar adalah mengorganisasikan, membentuk komunitas-komunitas, serta kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat untuk kepentingan pribadi adalah tindakan kejahatan kemanusiaan yang tidak banyak yang mengetahui.

Pada tulisan ini, saya menaruh perhatian pada organisasi politik paling sederhana dalam suatu negara yaitu Desa. Praktik mencintai kemenangan untuk kekuasaan adalah sikap kejumudan yang tidak mencerminkan nilai luhur yang menjadi keautentikan suatu desa. Desa adalah miniatur suatu negara, system birokrasi yang berjalan di Desa mencerminkan kondisi system birokrasi suatu negara. Untuk itu perlu bagi kita masyarakat agar memutuskan pilihan politik berdasarkan pertimbangan yang matang. Tidak berdasarkan tentang siapa dia namun tentang apa yang akan dia lakukan dan yang sudah dia lakukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun