Kalau mata masih normal, melihat sesuatu yang indah kita katakan indah. Kalau sudah mulai rabun, saat melihat yang indah bisa jadi kontras dari penampakannya. Nah, pernahkah Anda mengalaminya? Bila pernah, itu pertanda Anda tidak normal lagi.
Bicara tentang normal dan abnormal, mari kita ulas sedikit fenomena yang ada di lingkungan kita. Nah, berkaitan dengan hal tersbut, saya ingin bercerita pengalaman yang barangkali Anda juga pernah alami. Namun, saya berharap, judul tulisan ini tidak membuat Anda gigit jari. Ini bukan menyoal jantan atau betina. Bila ingin tahu lebih lanjut, mari kita mulai.
Ketika mengunjungi seorang kawan di kota Bandung, dengan mengendarai mobil pribadi bersama beliau, kami melintasi perempatan jalan di bilangan Soekarno Hatta dan Jalan terusan Suez, eh maksud saya terusan Kiaracondong, dua orang pengamen jalanan sedang “menyapa” kami di atas mobil. Bukannya maklum atau berempati, saya justru “takut” melihat penampilan mereka yang sedikit menggelitik. Biasalah, saya bukan hanya takut, tapi juga geli.
Kalau saya menyebut kata bencong atau banci atau waria atau setengah lelaki setengah wanita, atau bahkan setengah jantan setengah betina, Anda tentu sudah paham. Ya, itulah fenomena masyarakat sosial (kalau bisa disebut penyakit) di sekitar kita. Sejak kecil hingga dewasa saya sudah terbiasa dengan “penampakan-penampakan” seperti itu.
Masa sekolah di SMP dulu, seorang teman lelaki saya yang lumayan tampan, tampak lebih tulus meniru-niru gaya hidup teman-teman perempuannya. Bukan hanya dari segi berbicara dan berpakaian, bahkan hingga pergaulannya. Kulitnya yang putih mulus juga menonjolkan kefeminiman daripada sifat maskulin. Saya suka tidak suka bergaul bila kemarahannya meledak, kekuatannya bisa seperti algojo atau Rahwana dalam serial Sinta.
Apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Ketika saya sudah kuliah di salah satu kampus negeri di kota Makassar, sosok tidak asing saya jumpai di atas angkutan kota. Saya kaget dan tidak pernah menyangka, kawan SMP saya itu kini telah berubah menjadi Gynandromorphs.
Apa itu Gynandromorphs? Istilah ini berlaku ketika sebuah kupu-kupu di Museum Alam London, Inggris, “lahir” dengan setengah bagian tubuhnya berjenis kelamin jantan, dan setengahnya lagi betina membentuk simetris. Istilah Gynandromorphs sendiri diambil untuk menyebut nama ilmiah “waria” bagi spesies kupu-kupu yang mengalami kegagalan kromosom seks. Apa kaitannya dengan kawan sekolah saya itu? Sederhana, penampilan yang tidak wajar, secara umum saya dan kawan-kawan di sekolah mengenalnya sebagai seorang laki-laki kini menjelma menjadi, maaf, kalau bisa disebut sebagai banci alias waria.
Saat melihatnya, dan bila tidak mengenalnya, maka mata kita seolah dihipnotis melihat seorang perempuan putih, cantik, dan anggun dengan pakaian yang nyentrik persis perempuan tulen. Mungkin karena tidak tahu itulah, Jan yang seorang laki-laki asal Belgia menikahi “perempuan” hampir 20 tahun lamanya yang ternyata seorang banci alias waria yang telah berganti kelamin. Saat mengetahui istrinya seorang laki-laki, seketika itulah kehidupan rumah tangganya runtuh. Dalam kamus manusia normal, tidak ada sejarah manusia menikah dengan sesama jenis dalam keadaan sadar atau berpikir normal, kecuali yang menikahinya itu juga tidak normal.
Saya ingat, di kampung saya dulu di Sulawesi Selatan, teman bermain saya juga ada beberapa yang berpenampilan dan bergaya seperti perempuan. Beberapa tahun kemudian mereka berubah menjadi “perempuan” sesuai “minat dan bakatnya” itu. Apakah hal itu mendapat pemakluman dari orang-orang di sekitarnya? Jawabannya tentu saja, tidak. Namun, jangan heran bila di kota-kota besar mata kita tidak asing dengan hal-hal seperti itu. Orang-orang menyebutnya kupu-kupu malam; baik pria, wanita, hingga waria.
Kasus kupu-kupu waria yang hanya 0,01 persen kasusnya di dunia itu, setidaknya memberikan pelajaran bahwa kemunculan waria yang ada di sekitar kita bukan karena sebuah pemakluman apalagi disebut sebagai gejala sosial biasa. Saya berani menjamin, dalam sebuah rumah tangga, bila seorang saja dari anggota keluarga ada yang berkelamin “dua”, keluarga itu sudah tentu sangat risih.
Lalu sebagai manusia normal, bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap saudara-saudara kita yang berwujud setengah lelaki dan setengah perempuan di sekitar kita?
Tulisan ini saya buat bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di mata saya, gejala sosial yang mulai semakin menjamur di Indonesia itu bukan lagi rahasia. Namun, bukan berarti tulisan ini menjadi pemakluman bagi mereka. Kalau kupu-kupu yang bermetamorfosis bisa menjadi waria, dan itu disebut langka serta merupakan sebuah penemuan yang luar biasa, apakah hal itu berlaku bagi pemakluman adanya waria di negeri ini? Entahlah. Agama yang saya yakini jelas menolak keras adanya waria dengan alasan apapun.
Bogor, 10 April 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI