Sungguh rajinnya anakku. Langkah kaki pertamanya menyentuh kelas saat bunyi lonceng sudah lewat sekitar tiga puluh menit yang lalu. Jangan tanya di mana dia tadi. Sudah berlembar-lembar kertas kecil persegi panjang menempati jari mungilnya yang tak terurus. Sudah berapa kali ku nyanyikan dia, namun tetap saja laguku tak menggema di sanubari.
Sungguh patuhnya anakku. Tulisan pertamanya bahkan tak terekam dalam buku. Berbatang-batang sudah menjadi debu pun tangannya sibuk menimang-nimang Nemo. Pikirnya mungkin Nemo akan hilang kalau tak ditimang. Sudah berapa kali ku migrasikan Nemo, namun tetap kembali. Nemo punya terlalu banyak saudara kembar.
Sungguh baiknya anakku. Karena tak ingin milik temannya hilang, barang itu disimpan ke dalam tasnya. Berhari-hari. Sampai berganti tahun pun tak kembali. Hebatnya lagi anakku mampu menyulap kertas dengan mainan baru.
Sungguh sopannya anakku. Perkataan pertamanya bahkan dapat membuat orang-orang berdatangan hanya karena ingin segera membuka kedai jokbal dan soondae.
Sungguh wanginya anakku. Mandi pagi setiap hari... Minggu.
(Terinspirasi dari kisah orang-orang yang selalu membanggakan anaknya yang salah)