Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Lesson Learnt dari dan Dalam Membaca dan Menulis

22 Juli 2015   15:01 Diperbarui: 22 Juli 2015   15:20 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Gaya hidup Berkompasiana bagiku adalah Membaca dan Menulis. Sehari harus membaca saja bila tak bisa menulis.
Belajar dan Hasil Pembelajaran adalah hal yang sama pentingnya dalam membaca maupun menulis.
Saya sangat sering menulis tentang hasil pembelajaran saya di Kompasiana. Kalau tidak salah saya menulis tentang menulis bukan karena saya sudah paham menulis tetapi saya ingin pembaca mengoreksi atau komentar terhadap pembelajaran saya itu. Atau saya sering menulis dengan tiga langkah : a. Fenomena, b.Pembahasan, c. Pembelajaran. Baik membaca maupun menulis menurut hemat saya harus jelas ada hasil pembelajaran yang jelas diterima ketika membaca atau dipesankan ketika kita menulis...
Pemikiran ini berawal dari bebarapa tahun lalu ketika di Kompasiana ini ada dua tulisan tentang MEME. Dari sana saya kagum terhadap fenomena “pengembangan” ide. Satu lontaran gagasan singkat katakan satu kata saja bisa dikembangkan dan meluas menjadi sebuah system ilmu….. (www.kompasiana.com/astokodatu/meme)
Maka saya tidak begitu terlalu heran seperti Rekan Mawalu2 dalam http://www.kompasiana.com/mawalu2/heran-aku-dengan-para-kompasianer-ini_54f83359a3331169638b4e3d..Saya setuju memang setiap orang seyogyanya bergumul dalam bidang ilmu masing-masing. Saya setuju saja pernyataan ini : “Kalau orang sekaliber James Riadi, almarhum Bob Sadino, Tommy Winata, yang misalkan saja mereka adalah Kompasianer, lalu menulis tips bagaimana supaya bisa menjadi kaya, itu baru aku percaya.” Rekan Mawalu2 merasa heran seorang jomblo menulis tips untuk kerukunan berkeluarga….Tetapi setiap orang dalam “menulis” saya kira “bebas” sepanjang berani bertanggung jawab terhadap “penilaian” pembaca. Perkembangan atau pengembangan bakat-minat lebih lagi terdorong suatu keinginan dan kecenderungan yang dibawah sadar pun dapat membuahkan pemikiran meluas, nah apa salahnya orang mau menulis, kalau memang bisa..
Penulis berikutnya yang saya baca, menulis ini : “Sengaja saya tulis artikel ini karena sebagai tambahan pengetahuan bagi pembaca, ya sekaligus renungan atas pencapaian menulis. Mengapa? Setelah saya mempelajari berbagai artikel dan gaya tulisan Kompasianer lain, saya merasa bukan siapa-siapa, dibanding tulisan para penulis yang sudah punya ‘nama’.” Selanjutnya dikatakan oleh @Dewiwiddie dalam menulis itu sering dipengaruhi oleh :
a. Adanya Pengaruh penulis sebelumnya.
b. Materi Pembahasan itu sendiri
c. Volume Supply materi pada diri penulis
d. Pengalaman penulis
e. Kondisi / mood penulis
(http://www.kompasiana.com/dewiwiddie/apakah-kepribadian-seseorang-mempengaruhi-gaya-tulisan_55a8fc91ef7e6188048b4567)
Penulis yang saya baca berikutnya, I.Suharyo. dalam bukunya yang relative tipis saja, “ Pusat-Pusat Kehidupan”. 012519 @Kanisius 1992.Cet..2/1993 dalam Kata Pengantarnya penulis ini mengatakan akan menghimpun permenungan dari empat buku : Out of Solitude (Ave Maria Press, NotreDame 1978), Clowning in Rome, (Doubleday &Company 1979, dari Penulis Henry Nowen. Dan sebuah buku ketiganya renungan Anthony de Mello, terjemahan di “Sadhana”, Kanisius Yogyakarta, 1979, dan keempat dari M.Basil Penington, The Way Back Home, New York 1989. Disusun permenungan yang dirangkai dalam rangkaian permenungan dalam sebuah buku berjudul: (berarti tersimpul dalam) Pusat-pusat Kehidupan. Penulis I.Suharyo, berhasil mengambil lesson learnt dari sumbernya dan pada gilirannya menyampaikan kepada pembaca bukunya seperangkat lesson learnt.
Selain mau menunjukkan suatu ilustrasi hasil “belajar” atau buah dari membaca oleh Penulis I.Suharyo, saya juga tertarik pada buku berjudul “Pusat-pusat Kehidupan”, karena saya rasa actual untuk yang baru saja selesai berpuasa sebulan penuh. Karena kebanyakan pelaku puasa itu umat biasa pula (bukan “rohaniwan”) yang harus memelihara keselarasan hidup berdoa dan berkarya.
Buku “Pusat-Pusat Kehidupan” itu memberi permenungan dengan subjudul: 1. Keheningan, 2. Doa, 3. Kontemplasi dan Pelayanan, 4. Doa Berpusat Hati. Disini tentu tidak akan saya paparkan seluruh isi buku itu. Tetapi saya harus mengatakan bahwa pada setiap subjudul itu ada Kesimpulan sebagai lesson learnt yang ditawarkan Penulis I.Suharyo saya sampaikan dengan formulasi saya sbb. :
1. Dengan keheningan kita meneropong Kehidupan kita lebih baik : banyak sisi lebih terlihat. Kehidupan kita adalah Kerja dan Doa.
2. Doa bukan saja kewajiban yang bisa dilaksanakan sekedar dengan keinginan, tetapi perlu upaya serius, disiplin dan ketekunan.
3. Kontemplasi dan Pelayanan adalah titik titik pusat kehidupan. Doa kontemplatif dalam kehidupan keseharian berkesinambungan tidak terbatas pada saat ritual menguatkan Karya, dengan mampu melihat sampai yang sejati.
4. Sebagai salah satu pilihan dilampirkan cara berdoa berpusat hati..
Pembelajaran yang saya ambil.
1. Ada beberapa jenis penulis di Kompasiana, ada penulis pembelajar ada penulis professional yang “berkarya dan berbagi ilmu”,
2. Ada beberapa factor pengaruh penulisan, diantaranya penulisnya sendiri, pembaca yang disasar, serta medianya.
3. Kompasiana sendiri merupakan forum penulis/pembaca yang diberi peluang beropini luas.
4. Disini saya mengambil posisi sebagai pembaca artikel tiga penulis Kompasianers, yang saya apresiasi positip, dan saya menyajikan pengalaman bacaan buku yang ditulis I.Suharyo berangkat dari pembacaan juga.
5. Pesan sampingan yang penting adalah “Hidup dalam Doa dan Karya” sebagai kelanjutan Renungan Ramadhan.
Sebagai penutup saya mengutip Karya Rekan Yth.Ibu @ Aridha Prassetya-35 ini :
“Duduklah dengan rileks. Tarik dan hembuskan nafas dengan ringan. Tetap rileks. Tak perlu pejamkan mata. Rileks saja…bernafaslah sebagaimana biasa…saya ingin sejenak mengajak. Lupakan nama…lupakan jenis kelamin. Lupakan jabatan. Lupakan peran Anda. Status social Anda. Lupakan. Lupakan tentang kesukuan dan juga bahasa. Tanggalkan bahasa Anda. Tanggalkan agama (hanya untuk sekarang), pakaian dan lupakan bahwa Anda punya badan. Tanggalkan badan Anda.
Sekarang. Bayangkan Anda berjalan. Sendirian. Tanpa nama. Tanpa jenis kelamin. Tanpa peran. Tanpa status sosial. Tanpa bahasa dan suku. Tanpa agama. Tanpa pakaian dan bahkan tanpa badan.
Dalam keadaan tanpa apa-apa… Siapakah Anda? Dan siapa yang mau memikirkan Anda? “ (http://www.kompasiana.com/aridhaprassetya/fapi-aku-ingin-menjadi-seperti-beliau_559b66da949373a41dcb9143)

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun