Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini di Dekatku: Perempuan-perempuan yang Kuhormati

21 April 2012   10:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:19 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

1. Dalam sejarah aku baca nama Stella. Dia adalah Estella Zeehandelaar, feminis sosialis yang membuka diskusi pertama kali dengan Kartini melalui surat.

2. Dalam sejarah aku dengar sendiri dari ayah bunda ku sendiri, dikenalkan sebagai Mevrouw Caroline Schmutzer, seorang Belanda, perawat, aktivis /pekerja social, pemerhati nasib perempuan anak-anak pribumi didesaku. Nama lengkapnya Caroline Theresia Maria van Rijckevorsel(+1990), yang pada tahun 1920 nikah dengan Ir. Julius Robert Anton Maria Schmutzer,(1884-1954) yang seorang pengusaha, pemerhati budaya Jawa, yang hidupnya sangat social dan beribadat. Jadi Caroline isteri Julius Schmutzeri tidak mengherankan bila dia itu orang perempuan Belanda seperti Stella, yang sejalan dengan cita-cita Ibu kita Kartini.....

Mevrouw Caroline Schmutzer, yang Perempuan Belanda itu didukung suaminya mendirikan poliklinik di garasi rumahnya di kawasan Pabrik Gula Gondanglipuro, Bantul, DIY. Yang kemudian hari menjadi rumah sakit. Dia mendirikan sekolah dasar perempuan th 1926 di Ganjuran, lalu th 1928 Sekolah Kepandaian Puteri didekatnya, tahun 1930 mendirikan lagi sekolah dasar puteri di tetangga "kecamatan". Keluarga Schmutzer sejak tahun 1919 berhasil membuat sekolah rakyat / pribumi 12 buah dikawasan wilayah perkebunannya.

3. Dalam Keluargaku ada : Ibuku, saudara-saudaraku,isteriku.

Seorang anak memperoleh image, gambar per-tokoh-an, atau konsep kepribadian itu dari belajar memperhatikan peranan, teladan dan pembicaraan dari keluarga dan "masyarakat"-nya sejak kecil hingga dewasa. Sampai saat anak itu nanti memilih pasangannya akan terpengaruh oleh konsepsi yang didapat dari pengalamannya.

Tokoh perempuan pada ibuku, aku tangkap dan hayati sebagai figure yang menyelesaikan masalah dalam lingkup hidupnya. Ibuku bukan tokoh lemah, yang merengek menangis. Saat ayah tidak mendapat gaji lagi di zaman perang ibu menyelesaikan masalah. Saat ayah mendapat kesulitan ibu diam. Tak tahu apa yang dipikirkan, tetapi ayah segera cerah kalau berbincang dengan ibu. Saat nampak persoalan rumah tangga entah apa tak dapat kuhitung, ibu berdiam kukira berdoa, dan masalah pun berlalu. Ibu merengkuh anak-anaknya dengan cara yang sama, seperti ayah juga ibu menaruh perhatian kepada anaknya istimewa bagi yang sedang dalam persoalan. Ayah mendatangi keluarga anaknya yang sedang mengalami kesusahan, ibu meneguhkan anak-anak yang lain agar tak ada kecemburuan.

Ibuku (1902-1960) seorang perawat, konon pembantunya Mevrouw Caroline, dan ayah (1900-1976) guru pertama kali (1919) di sekolah rakyat milik keluarga Schmutzer di zaman Belanda itu. Saudara-saudara perempuan saya ada empat : dua orang jadi guru dan dua orang jadi perawat / bidan. Mereka tukoh perempuan yang bertanggung jawab dalam mendidik dan merengkuh anak-anak. Tidak berbeda saat mereka merengkuh membantu ibu membesarkan aku dan adikku. Singkatnya mereka adalah anak-anak ibu dan bapakku. Dua orang guru dan dua orang parawat bidan. Itu menjadi bukti keberhasilan ayah bunda tidak mewariskan harta benda tetapi peri kehidupan yang mereka berikan dengan pesan dan teladan. Dan mereka memberi aku pandangan seorang perempuan yang teguh, perkasa bertanggungjawab dalam merengkuh dan mendampingi anak-anak mereka yang Tuhan menyerahkan dalam tangan mereka.

Dan perempuan itu isteriku sendiri. Tidak perlu heran kalau saya mencatat kata anak kami pertama waktu masih kanak-kanak: Mamaku nomor satu didunia. Menulis untuk rekan-rekan pembaca perempuan tentu hanya membuat cemburu, konyol, atau senyum sinis saja...... hehehe.

Perempuan saya kenal mulai kelas 2 SD. Di kawasan tempat tinggal kami ada asrama pantiasuhan dan pernah menjadi tempat pengungsian dimasa perang. Sekali waktu dua tiga keluarga dari kota ditampung disana. Bertambahlah teman-teman sepermainanku. Dari mereka aku terima pelajaran tentang budaya "pacaran".

3. Perempuan-perempuan itu kemudian bagiku menjilma menjadi kategori yang berbeda dengan lelaki. Perempuan mulai menjadi pesaingku dalam prestasi belajar, tidak dalam ollahraga. Perempuan menjadi pesaing popularitas di sekolah. Perempuan saat kanak-kanakku adalah kakak-kakakku atau musuhku: artinya pecinta bagiku atau pesaing bagiku. Baru saat saat mahasiswa aku mulai belajar melihat arti kerjasama bersama kaum perempuan. Dan dimasa dimana kesempatan ada aku partisipasi banyak sebagai aktivis kesetaraan gender.

4. Bunda Maria dan Santa Theresia dari Liseu, tokoh ideal-prototipicalku, yang dikembangkan oleh dan dalam Bunda Theresa dari India dll kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun