Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jati Diri dan Kelola Pengaruh

7 September 2012   16:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:47 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jati diri adalah aslinya Aku-ku setiap pribadi. Setiap orang dapat, boleh, berhak, dan sah mengatakan : “Inilah aku”. Akulah ini, biarpun mirip dia, tetapi Aku bukan Dia!

(Saya tidak peduli filosof itu bilang : Cogito, ergo Sum.) Tetapi banyak cerita pengalaman orang disaat-saat menyadari tentang dirinya dan menemukan Akunya yang khas dan berbeda dari orang lain. Dan dia berontak bila AKU-nya tidak diperhitungkan tidak dihargai, tidak diperhitungkan sesuai yang diharapkan. Penemu baru pada umumnya sangat yakin diri dan terkesan sombong. Padahal temuan diri macam apa saja, tidak terlalu lama biasa anak muda akan segera ragu dan kurang yakin. Anaknya kakak saya dikala berumur 20-30 tahun membuat semboyan : “Teguh dan Tegar Diri” atau ditulisnya dalam bahasa bergaya : “Recte et Immobiliter”. Itu menunjukkan betapa susah pada umurnya seseorang mau menjadi dirinya sendiri.

Membangun jati diri adalah proses pembentukkan kepribadian dewasa dan bertanggung jawab, bervisi, utuh, dan berkelanjutan sehingga nampak ada gaya / pola hidup tertentu. Disana di kehidupan itu ada momentum-momentum kritis khususnya dalam pengambilan keputusan dan menghadapi situasi yang problematik. Jadi bukan hanya pada jenjang umur remaja saja bahkan banyak orang yang sering sampai berumur agak lanjut tidak menunjukkan jati diri yang dewasa utuh, bervisi, dan perilakukanya menunjukkan penuh tanggung jawab.

Pada era keterbukaan dewasa ini bukan hanya remaja dan pribadi tertentu saja, bisa kita perhatikan bahwa bahkan kelompok masyarakat, bahkan bangsa boleh dikatakan bisa menjadi gamang menghadapi pengaruh luar atau apa yang sudah menjadi perilaku orang sekitarnya.

Dalam Kebersamaan kita sering nampak adanya hambatan seseorang itu untuk menemukan jati dirinya akibat pengaruh lingkungannya. Mungkin boleh dipertanyakan juga seberapa jauh kita orang dewasa masih sangat dipengaruhi oleh lingkungan kita juga dalam proses mengambil keputusan. Sebab banyak pengambilan keputusan kita yang akhirnya memberi bentuk jati diri kita. Pengaruh Lingkungan dapat menjadi Pengeruh dapat menjadi Pengarah untuk menemukan Jati Diri Sejati. Jati Diri Sejati harap dipahami berbeda dengan “berani tampil beda”. Bukan bedanya tetapi diri sendirinya yang bukan pemeran sandiwara.

Itulah kehidupan yang sangat bagus digambarkan oleh seorang Arimbi, Kompasianer penulis buku Karma itu bahwa proses hidup ini bagaikan “Membaca dan Menulis”.

Membaca dan menulis dengan arti hurufiah saja ada banyak teori dan petunjuk, apa lagi apabila kita mau “Membaca dan Menulis” kehidupan ini. Jangan-jangan kita akan menjadi “kopastean”/photokopi model perilaku dari idola kita saja.

Ada seorang Mark Joyner berteori tentang “membaca sebuah model”. Antara lain dikatakan :

1.bisa jadi orang mengambil dan mengedepankan “kegunaan dan kemanfaatan”, tanpa mempedulikan nilai “kebenaran” atau bahkan nilai utama yang lain.

2.model /percontohan tak akan ada yang sama,

3.banyak model / percontohan/ pengaruh seringnya saling terkait.

4.model percontohan tidak ada yang mutlak tepat guna.

5.karena itu model untuk percontohan yang kuat mempengaruhi seseorang tak seharusnyadiberlakukan untuk keseluruhan pola hidup atau selamanya.

(Mark Joyner dalam bukunya Simple-ology (Cara Sederhana untuk Mendapatkan Semua Keinginan anda, Pen.PT Gramedia Pustaka Utama,Jkt.2008) dalam bab 3 membahas perihal Pengaruh.)

Mark Joyner selanjutnya mengutarakan pengaruh bukan saja yang bersifat personal tetapi yang konseptual. Pengaruh konseptual menjadi pengaruh kuat dan berat untuk ditolak. Penolakan akan memberi kesan “keterbelakangan” dan/atau “asosial” bagi yang menolaknya. Pengaruh ini mungkin kita anggap sebagai “nilai” yang wajar dan bagus/baik tetapi tetap saja semuanya sebagai pengaruh luar yang harus dipertimbangkan terhadap nilai lain untuk kita saat mau ambil keputusan/pilihan.

Konsepsi yang mana itu ? Ada 6 hal sebagai berikut :


  1. Kebiasaan dan kecenderungan saling bertukar, saling berkunjung, saling menyumbang, saling membantu, dsb. Ini tentu bukan kebiasaan buruk dari awal/dengan sendirinya..
  2. Kebiasaan dan kecenderungan umum untuk memberi komitmen. Sudah menjadi kebiasaan umum melibatkan diri pada satu kepentingan, sehingga terjadi semacam konsistensi. Inipun sebagai pengaruh yang memotivasi perlu pertimbangan juga.
  3. Bukti Sosial telah ada, seperti aturan kebiasaan pada umumnya, norma-norma dalam kehidupan itu pengaruh positip untuk suatu waktu, tempat, kondisi, yang pada kesempatan tertentu mungkin perlu dipertimbangkan lagi.
  4. Kekuasaan atau barangkali hegemoni, merupakan pengaruh yang tentu dirasa berat untuk ditolak. Hanya pribadi yang “kuat” mungkin berani menolaknya dengan resiko tertentu pasti.
  5. Rasa suka kita sendiri terhadap unsur diluar kita, yang akan mempengaruhi kita dalam menjatuhkan keputusan atau pilihan.
  6. Kelangkaan atau sifat menonjol signifikan dan kita anggap relevan. Kecenderungan “meniru” orang lain, perilaku baru dan seperti itu.

Dengan menunjuk enam kategori “pengaruh” dan lima kiat “membaca” tersebut diatas penulis mengharap kita dapat mengambil hikmah untuk dapat “menulis” kehidupan membangun jatidiri yang kritis dan semakin sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun