Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ibu Di Mana, Pak?

28 Februari 2015   17:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:22 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pergaulan sehari-hari amat penting ‘tegur sapa’, ‘jaga perasaan’, ‘kendali emosi’ dan ‘pemahaman’ akan makna sapa dan keterbukaan orang lain. Sapa, Rasa dan Makna.

Ceritanya: sore itu saya bermusyawarah sama isteri. Berhubung dia akan ditemui seseorang yang agak sulit untuk saling bertemu, maka kami sepakat bahwa saya sendiri berangkat keibadat sore hari ke gereja. Sebelum saya berangkat saya sudah “memperhitungkan” kemungkinan orang akan bertanya mengapa saya sendirian. Pertama tetangga tiga rumah sebelah kami, seorang janda tua yang rada-rada genit. Pasti dia akan menegur : Ibu dimana pak ? Selanjutnya entah berapa orang mau bertanya serupa.

Dan betullah dugaan saya dimuka. Dan betul pula reaksi saya spontan: tidak suka, saya merasa sepertinya mereka siapapun itu mau menata hidup saya. Dirasakan mereka bisa menentukan dan mengharuskan setiap kepergian saya harus bersama isteri. Pertama menyapa saya saat itu benar juga si janda tua itu. Dan tegur sapanya tetap saja : Ibu dimana pak, kok sendirian saja.?Coba saya harus jawab apa....? Saya spontan menjawab : Ya, memang saya sendiri. Ibu dirumah...... Janda itu tidak melanjutkan sapanya, tetapi berguman dengan anaknya tentang saya dan isteri saya.Tidak jelas bagi saya mereka bercakap apa tentang kami. Sepertinya semua sekedar tegur sapa keakraban bertetangga saja, tiada maksud lebih jauh.

Belum berapa lama, sepasang suami isteri bersepeda motor berhenti tepat didepan langkah saya, katanya : “Ibu dimana pak....... sehat sehat saja bukan.......tempoh hari bapak juga tidak kelihatan apa betul ke Jakarta.....?.” Seperti sesak nafas saya bertubi-tubi mendapat pertanyaan, mungkin seperti ini penyidik bertanya kepada tersangka. Mereka teman yang biasa duduk didepan tempat kami duduk digereja. Serasa mereka mempunyai kepedulian pada ‘kesehatan’ kami sebagai manusia lansia. Sayapun berusaha memahami dan menjawab juga spontan seperlunya.

Sebelum melangkah masuk ruang ibadat, lagi setengah berbisik sahabat isteri saya bertanya dengan pertanyaan yang serupa senada dan mungkin semakna : Ibu dimana pak ? Karena ibadat segera akan dimulai saya tak sempat menjawab. Saya hanya memberi isyarat saja : isteri tidur dirumah.

Dalam gereja saya biasanya bersama isteri mengambil tempat duduk agak kedepan, agar perhatian kami fokus kedepan tempat pusat upacara. Tetapi ketika saya sendiri, saya lebih senang agak dibelakang. Dibelakang saya merasa diarena lepas luas. Saya merasa ada semacam kebebasan dalam menghayati kebersamaan dengan sesama umat yang beribadat. Seringkali saya melihat kekhusukan seseorang lelaki perempuan tua atau muda, memberi motivasi tersendiri untuk saya lebih menghayati doa dan peribadatan kami. Tuhan tidak memanggil saya dalam kesendirian, seperti kita juga dalam kebersamaan saya kini bersama anda pembaca.

Kebersamaan memang membawa kita kepada keterbukaan. Dari keterbukaan kita diajak mau tidak mau kepada kepedulian. Tegur sapa itu hanya salah satu sarana aktualisasi/pelaksanaan/perwujutan/simbolisasi dari kepedulian. Dari tegur sama atau sapaan-sapaan kita membaca makna dari kepedulian itu sendiri. Mungkin peduli yang positip mugkin peduli negatip terhadap yang disapa. Pemaknaan itu seringkali sulit karena semua sapa atau sasmita/isyarat itu kadangkala bermakna ganda, atau dapat diartikan kekanan atau kekiri. Saya barusaja bertemu teman yang sedang membantu anaknya belajar bahasa Mandarin. Dalam bahasa itu kata teman itu sebuah rangkaian aksara yang sama dapat mendapat 22 makna yang berbeda tergantung dari nada berat ringan tinggi rendah dst. Belum lama rasanya saya pernah menulis tentang “adu rasa”, kebiasaan yang konon diajarkan sebagai unggah-ungguh dan suba-sita, ajaran sopan santun di kraton Jawa. Dimana saya menangkap sebagai petunjuk bagaimana orang bermain perasaan menggunakan sasmita, senyum, sapaan yang efektip dan memperhitungkan perasaan orang lain pula.

Maka dalam kebersamaan pergaulan sehari hari sebaiknya kita selalu bertimbang nalar pikir dan rasa memaknai sapaan dan bahasa isyarat/sasmita dari supaya terwujut kedamaian antar kita bersama.

Salamku hormatku.

Em.Astokodatu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun