Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berbagi Untuk Generasi Penerus

11 Juni 2015   11:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:06 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak ada habisnya berbicara tentang “Berbagi”, tetapi kapan berbuatnya? Seorang penulis tidak pula kehabisan jawab: “Ya, dengan menulis ini saya ingin berbagi.”
Pagi tadi saya membaca artikel rekan Dewi Safitri*), berjudul “Quality time untuk anak”, mengingatkan saya akan janji saya kepada rekan “Cuma Marcel @M&s”, yang menulis pada tanggal “30 November 2014 16:49:52 : Itulah yang saya dan mami coba usahakan utnuk cici dan boy lho pak Asto. Boleh dong pak berbagi cara bimbing dan didik pak Asto kepada anak2nya. Jadi kan saya juga bisa belajar untuk menjadi lebih baik. Love n JBU” Pak Marcel menulis kalimat itu sebagai jawaban atas komentar saya terhadap artikelnya yang “menyentuh” : “Ngobrol tentang Sukses”.**) Artikel ini berbagi tentang pengalaman berdialog dengan putri-putra-nya pada momentum-momentum yang tepat, edukatif dan penuh keakraban. Coba ikuti komentar dibawahnya:
o Senang mengikuti keakraban keluarga, yang tidak sekadar akrab namun juga edukatif, dan menginspirasi. Momen indah yang menyentuh, (Indria Salim)
o Mendorong anak memberikan opini kadang ngga mudah (Etha Maria)
o ayah yg baik banget yaa akrab dgn anak2 sejak dini…. moment2 penting dlm perkembangan anak, menanamkan nilai2 positif juga membuat anak selalu bersikap positif,(Dahlia Yustina)
o Percakapan- percakapan macam ini... nanti akan muncul di kepala anak- anak saat mereka dewasa... dan memperkaya hidup mereka. (Rumah Kayu)

Saya memang tidak berjanji tegas mau menjawab himbauannya (“Boleh dong pak berbagi…” ) dengan berbagi pengalaman keluarga kami. Namun saya rasa ini saat yang baik permintaan itu saya bayar sekarang karena diingatkan oleh Rekan Dewi Safitri dengan artikel yang bagus pula itu.
Seperti sebagian saya ungkapkan pada komentar saya untuk tulisan Rekan @M&s diatas, saya juga sudah mengerjakan terhadap anak-anak kami sejak mereka masih kecil, yaitu :
a. Keakraban keluarga: dipelihara kedamaian, kelancaran komunikasi antar warga (bapak/ibu/anak/kakek/nenek/prt) yang terlibat dalam kehidupan keluarga, sopan santun, (di Jawa ada istilah unggah-ungguh = penghormatan kepada yang tua sesuai dengan “aturan strata social” yang masih ada), pengendalian diri dalam kemarahan, kegembiraan penuh syukur bersama (tampak pada hari raya keagamaan dan HUT setiap warga yang berutah).
b. Rasa Persaudaraan, dipupuk lebih dengan kerjasama kakak beradik dirumah, dan perkenalan dengan kerabat. Kedudukan dan profesi mereka memberi inspirasi anak-anak dikemudian hari ketika mereka juga harus mengenal betul apa saja kerja dan profesi orang tua.
c. Perkembang pola dan cara berfikir anak-anak kami bina dan amati sejak dini hingga selesai studinya. Dengan mulai “selalu menjawab semua pertanyaan anak” dengan rasional tanpa pura-pura dan intimidasi.
d. Setelah menjelang remaja anak-anak saya bebaskan berrelasi, berteman dan berorganisasi sesuai jenjangnya. Kebetulan saya dan isteri sama-sama gemar beraktivitas dan bersosialitas dimasyarakat, maka mereka dengan sendirinya mengambil sikap seperti kami.
e. Dengan kami saya dan isteri hidup sederhana apa adanya maka tidak pernah berfikir apakah saya harus memberi tauladan bagi anak-anak. Anak-anak sampai dewasa seperti dengan sendirinya mengambil pilihan seperti yang kami harapkan.
Dua orang anak kami berkembang sesuai dengan watak dan bakatnya berproses panjang atau pendek menemukan jati diri masing-masing. Mereka telah dewasa, berkeluarga dan berprofesi, akan hal mana kami boleh bersyukur. Tugas tertentu kami yang penting : berupaya memberikan Quality Time buat mereka, telah selesai. (Ah,sampai sekarang mereka masih selalu berharap kami berkunjung kerumah meraka…. )
Yang tentu tidak seratus persen kami ketahui sejauh mana mereka merasa tertekan atau terhimpit oleh orang tua dan lingkungannya, hanya mereka dan Tuhan tahu selengkapnya. Tetapi saya berharap semua ketertekanan, kehimpitan, dan keberatan hati mereka menjadi bagian hidup mereka yang mendidik dan membangun mereka menuju jalan kepada Tuhan sesuai doa kami.
Sebagai manusia masih diberi umur, kami (saya dan isteri) sangat sering menyaksikan dan berprihatin atas banyaknya remaja yang kehilangan masa bahagia direngkuh oleh kasih sayang orang tua mereka, padahal itu sangat penting untuk hari depan meraka. Semoga Tuhan mengirim bagi mereka “malaekat-malaekat” pengganti pelukan kasih ayah bunda mereka. …
Salamku hormatku
Link artikel terkutip.
*) Dewi Safitri : http://www.kompasiana.com/dewi.safitri/quality-time-untuk-anak-cukupkah_5575b0af2f97737360e59968
**) Marcel @M&s : http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2014/11/30/ngobrol-soal-sukses-707034.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun