Mohon tunggu...
Emmanuel Astokodatu
Emmanuel Astokodatu Mohon Tunggu... Administrasi - Jopless

Syukuri Nostalgia Indah, Kelola Sisa Semangat, Belajar untuk Berbagi Berkat Sampai Akhir Hayat,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Transparansi dan Rasa Malu

28 Oktober 2020   17:17 Diperbarui: 28 Oktober 2020   17:26 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak semua penyedia aplikasi, berita, atau medsos manapun yang ingin saya nilai (kayak ahlinya saja), tetapi sebagai warga masyarakat saya akan sangat menghargai siapapun itu yang memberi pembaruan, manfaat, aspirasi, menarik bahkan yang menghibur ketika menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang beriman. Sebab humanis yang atheis biasanya sangat egois, atau sebaliknya yang egois itu pikiran humanis atheis.(nilai)

Ad.Dua. Berbicara tentang nilai tak bisa lepas dari pendidikan. Istilah saya pendidikan itu sumber nilai, dan lembaga transfer nilai-nilai. Berenang di arena digital dengan semua peran yang diemban tampaknya banyak lembaga pendidikan belum cukup siap.

Diperlukan sungguh kesiapan mental bertumbuh (grouwth mindset) dengan budaya R-4 ini bagi setiap unsur dalam lembaga itu. Tampaknya lembaga pendidikan dengan asrama, seperti pondok pesantren, memiliki peluang dekat dengan kesiapan mental tersebut. Saya mengenal sebuah sekolah SMA di Yogyakarta yang mendatangkan ahlinya untuk sosialisasi dan membangun mental bertumbuh dalam sekolah R4.itu.

Adapun yang terkait dengan tata nilai pilihan mentalitas khumul atau syuhrah akan terkait dengan mental, semangat dan visi sekolah yang terbina oleh lingkungan dan keteladanan para senior, guru atau pembina.(mindset alma mater)

Ad.Tiga. Memikirkan hal mental publisitas, mental syuhrah ketika itu terkait dengan proses politik dan pencitraan sepertinya hati ini masih bisa tersenyum juga. Lagi-lagi membaca berita protes atas peretasan atau suatu kontrol terhadap komunikasi pribadi, saya masih juga tersenyum. Protes atas dibukanya privacy. (apa masih punya?)

Wapres dengan pernyataannya terkutip sudah membuka keterkaitan mental publisitas dangan nilai moral bahkan keimanan, diera keterbukaan ini. Saya masih menanti pembahasan para pumuka masyarakat terhadap juga adanya berita bahwa masih terdapat promosi marak di medsos untuk tempat prostitusi.

Diera keterbukaan juga di beberapa aplikasi masih berkeliaran praksis keterbukaan yang kurang menghargai privacy dan nilai luhur seksualitas. Rupanya rasa malu sudah hampir dilupakan. Rasa malu adalah perasaan yang terlatih terbangun oleh suara hati dan sikap moral sosial.

Rasa malu adalah warning dari suara hati yang dalam praksis merupakan kesadaran diri sebagai manusia sosial. Nilai yang kita hayati juga menjadi nilai kehidupan bersama. Seksualitas dan hidup berkeluarga adalah nilai yang luhur karena terkait dengan peran tugas kemanusiaan beriman dalam prokreasi. Meliputi masalah pribadi seperti iman itu sendiri, sekaligus masalah sosial kebersamaan yang tidak pantas dibuka dijual murah.

Demikian butir-butir yang ikut meramaikan budaya transparansi di zaman digital ini baik yang diberitakan, disoroti publik, maupun yang disimpan dalam aplikasi. Semua bisa jadi buah jebakan (istilah Wapres terkutip) atau buah kealpaan moral. Atau bisa menjadi pertanyaan reflektif buat kita masing-masing atau siapa saja.

Kata akhir, tolong terima permintaan maaf saya atas kata-kata yang membuat tidak berkenan. Dan tolong terima salam hormat saya yang penuh rasa terima kasih.

Ganjuran, Oktober 27 ,2020. Emmanuel Astokodatu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun